Sabtu, 29 Oktober 2016

Toleransi di Indonesia

MENCIPTAKAN TOLERANSI DI INDONESIA
Bhineka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tapi tetap satu, ini menggambarkan bahwa Bangsa Indonesia beraneka ragam baik suku, adat istiadat, maupun agamanya. Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari keanekaragaman itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual, tentram dan damai berdasarkan Pancasila.
Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Agama Islam (85%), bukan berarti Negara Indonesia adalah Negara Islam. Kita tahu bahwa Islam adalah agama yang toleran terhadap agama/ kepercayaan lain. Dalam Islam, terdapat konsep "فمن شاء فاليؤمن ومن شاء فليكفر" melalui konsep ini, Islam memproklamirkan kebebasan untuk memeluk agama. Dalam pandangan Islam, setiap orang wajib dihormati kebebasanya dalam menentukan jalan hidupnya. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Umat Islam yang sangat menginginkan hidupnya mendapatkan ridha Allah SWT dan berpegang dengan ajaran Islam, hubungan secara vertikal kepada Allah senantiasa harus dibina tetapi karena manusia mahluk sosial maka dia juga harus membina hidup bermasyarakat. 
Hidup rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan agama yang
lainnya dicampuradukkan. Islam mengajarkan toleransi (tasamuh) kepada non muslim dalam hal mu’amalah, industri, sosial, dan kemasyarakatan. Namun dalam soal aqidah dan ibadah adalah harga mati dalam arti tidak boleh ada kompromi dengan agama lain.
Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan.  
Indikator-indikator sikap toleransi adalah adanya penerimaan terhadap kelompok lain untuk hidup bersama, terciptanya ruang dialog antar umat beragama, dan saling menghargai terhadap aktifitas keberagamaan pemeluk agama lain. Berdialog atau bertukar pikiran bertujuan agar dari hari kehari kehidupan ala multiagama di negara ini menjadi sesuatu yang biasa dan tidak menjadi alasan terjadi pertikaian antara umat beragama. Dialog bukan apologi sehingga orang berusaha mempertahankan kepercayaan karena merasa terancam atau mengalahkan yang lain untuk mencapai kesepakatan penuh (agama universal). Dialog agama, pada hakikatnya adalah suatu percakapan bebas, terus terang dan bertanggung jawab, yang didasari oleh saling pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan bangsa, baik material maupun spiritual.
Dialog agama diharapkan akan membawa umat beragama pada konsep “agree in disagreement (setuju dalam perbedaan)” dan “hidup bersama” dengan didasari corak pemikiran teologi pluralitas. Berusaha membangun pemahaman sesuai dengan yang dikehendaki oleh suatu agama tertentu dan menghindari pemahaman yang bersifat subjektif. Ikut membangun  pemahaman agama orang lain dan bukan hanya memahami agama kita sendiri.
Secara akademik, memahami agama orang lain dapat dilakukan salah satunya, melalui ilmu perbandingan agama. Melalui disiplin ini pula, para penganut agama yang berbeda dapat terjalin saling pengertian, saling menghormati dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan universal yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan "esensi kemanusiaan" yang diajarkan semua agama. Ilmu Perbandingan Agama sangat berperan dalam proses menciptakan dan memelihara kultur kebersamaan antar pemeluk agama yang dilakukan, misalnya, dalam bentuk dialog, baik bilateral maupun multilateral, baik lokal, regional maupun internasional. Melalui berbagai pertukaran semacam ini, terjadi saling pengertian dan pada akhirnya, kehidupan berdampingan secara damai.
Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga para penganut agama sampai ke akarnya sehingga tidak ada jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Ini sesuai dengan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era 1970-an yang isinya meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Dengan mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing melalui kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan sebagainya. Bersama-sama para pimpinan majelis-majelis agama, melakukan kunjungan bersama-sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.
Al-Qur’an juga mengajak kepada seluruh penganut agama lain dan agama islam sendiri untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) diluar aspek teologis yang memang sudah berbeda dari semua. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang kostruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang abadi. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat etika. Karena lewat etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Ini berdasarkan firman Allah dalam QS. Ali-Imran: 64.
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu,…
Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia. Kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat antar beragama antara lain; rendahnya sikap toleransi, kepentingan politik dan sikap fanatisme. Beberapa langkah dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama dan membudidayakan hidup rukun antar umat beragama adalah sebagai berikut :
a.    Mengutamakan segi persamaan dan tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan agama.
b.    Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
c.    Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek ibadah dan aqidah saja menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada semua aspek kehidupan termasuk mu’amalah atau hubungan sosial dengan pemeluk agama yang berbeda.
d.   Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakul karimah.
e.    Menghindari sikap egoisme dalam beragama dan mengklaim diri paling benar (fanatisme).
Negara kita terbukti sangat peka terhadap isu keagamaan oleh karena itu jika tidak bisa menjaga hubungan baik antara agama. Bahaya besar telah menanti bangsa ini. Dengan belajar dan melakukan Toleransi Beragama maka kita  juga belajar bagaimana agar bangsa besar kita Indonesia ini dapat bertahan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar