PARADIGMA
BURHANI DALAM KAJIAN
ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendekatan Ilmu
Keislaman
Dosen Pengampu
:
Dr. H. Muslih, MA
Disusun oleh :
Ummu Hanifah
(1500128013)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
WALISONGO
SEMARANG
2016
PARADIGMA
BURHANI DALAM KAJIAN
ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika mengkaji pemikiran Islam klasik, termasuk di dalamnya hukum
Islam, maka perlu melihat nalar yang dibentuk oleh kebudayaan Islam-Arab,
karena hampir seluruh keilmuan Islam merupakan khazanah intelektual yang
lahir dari dan diproduksi oleh kebudayaan Islam-Arab. Dalam keilmuan Islam
(klasik) ada tiga nalar yang menjadi landasan berpijaknya, yaitu nalar bayani,
'irfani, dan burhani. Meski secara literal
istilah ini sudah ada dalam berbagai teks keislaman, seperti Al-Qur'an, Bahasa
Arab, filsafat, dan kalam, namun ketiga istilah tersebut muncul sebagai suatu
bentuk penalaran atau epistemologi keilmuan Islam ketika Muhammad Abed
al-Jabiri melakukan dekonstruksi atas tradisi keilmuan Islam dalam proyek
"Kritik Nanar Arab"-nya.[1]
Apabila nalar bayani menjadikan teks baik dari al-Qur'an,
as-Sunnah, Ijma' maupun hasil Ijtihad sebagai otoritas rujukan
utama untuk memperoleh pengetahuan, sementara nalar 'irfani melalui
metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapat pengetahuan, maka
nalar burhani berpegang pada kekuatan alami manusia, berupa pengalaman
indrawi dan otoritas akal, untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam.
Pada
masa modern ini telah terjadi kebangkitan kembali kecenderungan menggunakan
nalar burhani (rasional-filosofis) dalam mengkaji dan membangun konstruksi
keilmuan hukum Islam. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai paradigma
nalar burhani dalam kajian Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian paradigma burhani dalam kajian Islam?
2.
Bagaimana
sejarah paradigma burhani dalam kajian Islam?
3.
Bagaimana
metode paradigma burhani dalam kajian Islam?
4.
Bagaimana
aplikasi paradigma burhani dalam kajian Islam?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Paradigma Burhani dalam Kajian Islam
Burhan (Arab)
berarti argumen (al-hujjah) yang
jelas (al-bayyinah/clear) dan dapat membedakan (distinc/al-fashl);
demonstration (Inggris), yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstratio (memberi
isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Menurut KBBI, burhan
berarti tanda yang nyata, atau barang bukti.[2] Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode
pengambilan kesimpulan atau deduksi (al-istintaj). Sedangkan dalam
pengertian umum, burhani adalah “memutuskan sesuatu”.[3]
Burhan
adalah
salah satu jenis dari logika. Kalau logika itu bersifat umum, maka Burhan bersifat
khusus, bagian dari logika itu sendiri, yaitu suatu rasionalitas yang
mengantarkan kepada ilmu yakin. Sistem epistemik Burhani bertumpu
sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indera,
pengalaman, maupun rasio bagi upaya pemerolehan pengetahuan tentang semesta
dengan mendasarkannya pada keterkaitan antara sebab dan akibat (kausalitas).[4]
Menurut al-Jabiri yang dikutip oleh M. Faisol dalam jurnalnya,
bahwa epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang
bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian
akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu.[5]
Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Oleh karena itu burhani lebih bersandar pada kekuatan alami
manusia berupa indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai pengetahuan.
Epistemologi burhani atau pendekatan rasional argumentatif ini
merupakan pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui
dalil-dalil logika. Berbeda dengan epistimologi bayani dan ‘irfani yang
masih berkaitan dengan teks suci, epistimologi burhani sama sekali tidak
mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman spiritual. Burhani menyandarkan
diri pada rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan
dalil-dalil agama hanya bisa diterima jika ia sesuai dengan logika rasional.
Jadi, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.
Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan
terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan
istilah tasawwur dan tasdiq.[6]
Menurut Muslim A. Kadir, al-burhani adalah sebuah metode
dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi.[7] Filsafat
Islam yang menjadi unsur utama al-‘ilm al-husuli, membahas
masalah-masalah filsafat, seperti hubungan antara agama dengan filsafat,
masalah ketuhanan, hakekat ilmu, dan bahasan dasar lainnya. [8]
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa paradigma burhani
merupakan sebuah pandangan atau cara berfikir manusia yang bersumber dari kemampuan
alaminya, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio atau akal sebagai upaya
untuk memperoleh pengetahuan yang jelas berdasarkan hukum kausalitas (sebab
akibat). Dalam kajian Islam, paradigma burhani dipakai untuk memahami
masalah ketuhanan dan dalil-dalil agama sehingga dapat diterima oleh rasio
manusia.
Burhani adalah sistem
pengetahuan yang dominan berkembang di wilayah Barat (Maghrib). Untuk
saat ini harus diakui, dunia Islam jauh tertinggal dari Barat dalam capaian
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil dari sistem pengetahuan burhani
yang bersifat rasional-empiris. Umat Islam saat ini harus menjemput kembali
tradisi burhani yang pernah jaya dalam masa keemasan Islam masa lalu. Umat
Islam seharusnya tidak terlalu “larut” dalam sistem pengetahuan bayani
dan ‘irfani yang mendominasi dunia Islam pasca berakhirnya kejayaan
Islam seiring bangkitnya Barat.[9]
B.
Sejarah Paradigma Burhani dalam Kajian Islam
Nalar burhani identik dengan filsafat
yang masuk dari Yunani ke dunia Islam. Namun demikian, dalam konteks keilmuan
Islam klasik, penyebutan nalar burhani hanya ditujukan untuk pemikiran
filsafat Aristoteles. Dengan demikian nalar burhani di sini disandarkan
secara keseluruhan pada filsafat Aristoteles.[10]
Aristoteles adalah orang yang menyusun metode logika secara sistematis, dan
logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka ilmu-ilmu filsafat. Karena
kejeniusannya dalam formulasi-formulasi persoalan logika dan filsafat, ia
dijuluki Guru Pertama (The First Teacher).[11]
Istilah
logika (logic/al-mantiq) sendiri
diberikan oleh Alexander Aphrodisias, salah seorang komentator terbesar
Aristoteles yang hidup pada abad 2-3 M. Sementara Aristoteles menyebutnya
dengan istilah Analitika (analytica, at-tahlil), yang maksudnya adalah
menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. [12]
Dalam
sudut pandang filsafat, Aristoteles membicarakan tentang sesuatu yang
“transenden”, tentang “Tuhan” dengan uraian filosofis yang mampu dicerna nalar
dan sepenuhnya rasional. Ia mengidentifikasi Tuhan sebagai Penggerak Pertama.
Penggerak yang tidak digerakkan mengakibatkan semua gerak dan aktivitas di alam
semesta, karena setiap pergerakan meniscayakan sebab yang dapat dilacak kembali
pada sumber tunggal. Meskipun pemikiran Aristoteles tentang Tuhan tidak banyak
terkait dengan agama, Tuhan yang tidak menciptakan dunia, tidak mewahyukan
dirinya dalam sejarah dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat. Filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek rasionalitas akal
daripada spiritualitas moral.[13]
Selanjutnya pemikiran Yunani yang telah terdokumentasikan
ditransfer ke dunia Arab melalui kegiatan penterjemahan di era Khalifah
Al-Ma’mun (218 – 227 H). Penerjemahan bermula ketika al-Makmun, khalifah umat
Islam melihat Aristoteles dalam mimpinya, dalam mimpinya tersebut, al-Makmun
bertanya kepada Aristoteles, “apakah yang disebut kebaikan?”. Dia menjawab,
“kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal, kemudian apa yang
dikategorikan baik oleh syara’, dan terakhir apa yang dipandang baik oleh Jumhur.”
Al-Makmun menganggap mimpi tersebut sebagai ru’yah shadiqoh (mimpi yang
benar) dan mulai menggunakan kekuatan negara untuk menghimpun dan menerjemahkan
karya-karya Aristoteles sebagai “proyek religius”.[14]
Gerakan penterjemahan yang dilakukan al-Makmun dan didukung oleh
kekuatan negara tersebut bukan semata-mata karena mimpi al-Makmun, tujuan
dasarnya adalah menentang Gnostisisme Almanawiyah dan irfan Syiah yakni
sumber pengetahuan yang dijadikan dasar oleh gerakan-gerakan yang menentang
Daulah Abbasiyah. Al-Makmun memanfaatkan Aristoteles untuk melawan Gnostisisme
Almanawiyah dan irfan Syiah yang tidak hanya menyerang Abbasiyah sebagai
negara tapi juga sebagai pemikiran keagamaan resmi dengan kedua sisi utamanya
yakni sunni dan mu’tazili. Dengan demikian, mau tidak mau Abbasiyah harus
menggunakan senjata yang kuat untuk menghadapi “ketersingkiran akal”, dan tidak
ada senjata lain kecuali “akal universal” musuh historisnya.[15]
Nalar burhani masuk pertama kali kedalam peradaban
Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185 – 252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah
al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‘disadur’ dari filsafatnya
Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada Khalifah al-Makmun. Di
dalam al-falsafah al-Ula, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat merupakan
ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi, karena dengannya
hakekat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi
menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat, yang
merupakan jalan untuk mengetahui kebenaran. [16]
Namun berbeda dengan konsep nalar Yunani yang berkaitan dengan
upaya memahami sebab, yakni pengetahuan, maka nalar Arab pada dasarnya
berhubungan dengan perilaku dan akhlak. Dalam pemikiran Arab, pengetahuan
adalah usaha untuk membedakan objek pengetahuan (baik indrawi maupun sosial)
antara yang baik dan yang buruk. Signifikansi dan peran akal adalah mengarahkan
pemiliknya kepada perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela.
Pada kerangka ini, ketika sistem pengetahuan burhani Yunani bersentuhan
dengan wilayah pemikiran Arab, ia tidak sepenuhnya bersifat logis-filosofis
lagi. Melalui nalar Arab dengan perspektif normatifnya, para filsuf Muslim
terdorong untuk menyajikan bahan-bahan filosofis rasional dalam
sintesis-sintesis yang baru dan independen, yang mempunyai corak Islam.[17]
Demikian paradigma nalar terbentuk sebagai sistem pengetahuan Arab dengan orientasi
etika dan moralnya bergabung dengan epistemologi Yunani yang berorientasi
dengan dunia natural, dunia kausalitas.
C.
Metode Burhani dalam Kajian Islam
Sebagai aktifitas kognitif, metode burhani atau demonstratif
merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang
menghasilkan konklusi yang bernilai. Dalam penuturan Aristoteles, yang dimaksud
dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang
apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan.[18]
Pembahasan tentang metode silogisme demonstratif atau qiyas
burhani dilakukan
dengan memerhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam dua
preposisi (qadhiyyah) yang disebut premis-premis mayor dan
minornya, serta ada atau tidaknya middle term/ terminus
medius (term tengah) yang sah yang mengantarai kedua
premis tersebut. Sebuah silogisme bisa dikatakan demonstratif apabila
premis-premisnya didasarkan pada fakta yang teruji kebenarannya (primary
truth), karena dengan demikian diperoleh sebuah konklusi (natijah) yang meyakinkan menuju
sesuatu yang sangat penting. [19]
Contoh klasik silogisme demonstratif adalah sebagai berikut:
Premis mayor :
Semua manusia akan mati
Premis Minor : Socrates adalah manusia
\ Konklusi : Socrates akan mati
Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara
proses abstraksi (almaujudah
al-bari’ah min al-madah)
dan pengalaman inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat
membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses
penelitian lapangan (grounded research) dan penelitian literer yang
mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan di sini, karena fungsinya selalu
diarahkan untuk mencari sebab-akibat (Idraku
al-sabab wa al-musabbab).\ Konklusi : Socrates akan mati
Untuk mencari sebab dan musabab yang terjadi pada peristiwa alam,
sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks
keagamaan. Fungsi dan peran akal bukanlah untuk mengukuhkan kebenaran teks
seperti yang ada dalam nalar bayani, tetapi lebih ditekankan untuk
melakukan analisis dan menguji terus menerus (heuristik)
kesimpulan-kesimpulan dan teori yang
dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan.
Filosof Muslim Ibn Rusyd sangat menekankan proses kerja akal
pikiran seperti ini sebagaimana yang dilakukan dan dikonseptualisasikan oleh
Aristoteles. Fungsi akal yang bersifat heuristik dengan sendiriya akan
membentuk budaya kerja penelitian, baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif,
maupun verifikatif.
Tolok ukur validitas keilmuan dalam nalar burhani yang
ditekankan adalah korespondensi (Al-Mutabaqah
baina al-Aql wa nizam al-Tabi’ah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal
manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek
koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus
menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan,
rumus-rumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah
akal manusia (pragmatik).[20]
Letak keunggulan metode demonstratif (burhani) dengan metode
yang lain adalah kenyataan bahwa ia menggunakan silogisme atau penalaran logis
dengan menggunakan premis-premis yang “benar, primer, dan niscaya”. Sifat pasti
dari metode ini menyebabkan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh niscaya
merupakan pengetahuan yang benar dan pasti.[21]
Epistemologi
burhani bersumber dari realitas (al-waqi’) baik realitas alam,
sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani
disebut sebagai al-‘ilm
al-husuli, yakni
ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan lewat premis-premis logika
(al-mantiq), dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula
lewat otoritas intuisi.[22]
Jika bayani dan irfani masih mengaitkan dengan teks suci, namun
burhani lebih mengandalkan kekuatan rasio atau
akal yang dilakukan melalui dalil-dalil logika (dalil agama hanya bisa diterima jika sesuai dengan logika
rasional).[23] Penalaran burhani tidak akan bertentangan dengan syara’
sebagaimana penjelasan Ibnu Rusyd yang dikutip oleh Suparman Syukur, yang
menyatakan bahwa:
“Jika syari’at itu benar adanya sejak ia mengajak kepada penalaran
yang akan menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahwa
penalaran burhani tidak akan bertentangan sedikitpun dengan syari’at.
Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengan kebenaran lainnya,
bahkan justru saling mendukung disamping masing-masing berada pada posisi yang
kokoh.”[24]
Apabila penalaran burhani berusaha memahami segala yang ada,
maka hal itu mengindikasikan dua kemungkinan, dimana masalah itu dibicarakan
oleh syara’ atau tidak dibicarakan. Apabila suatu masalah tidak dibicarakan
oleh syara’, maka hal itu tidak berarti bertentangan. Menyikapi keadaan seperti
ini diperlukan seorang mujtahid yang mampu menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan qiyas syar’i. Begitu juga jika sesuatu dibicarakan dalam
syara’, hal itu mengandung dua kemungkinan juga: bersesuaian dengan nalar burhani
atau justru bertentangan. Jika terjadi pada yang kedua, maka pemahamannya
dilakukan dengan metode ta’wil.[25]
Pendekatan burhani
atau pendekatan rasional argumentatif melalui dalil-dalil logika,
menjadikan teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam konteks ini metode ta‘lili,
yakni pola penafsiran yang bertumpu pada ‘illah yang diyakini berada
pada kandungan Ayat atau Hadis yang menjadi tambatan ditetapkannya suatu norma.
Artinya, lafzh tidak cukup hanya dipahami berdasarkan arti
kebahasaannya, tetapi juga dilihat dalam perspektif sosio-historisnya. Analisis
pada metode ini dapat dibedakan kepada penalaran qiyasi, istihsani, maupun istishlahi.[26] Berikut
ini tabel ringkasan pendekatan nalar burhani:[27]
1.
|
Origin
(Sumber)
|
a.
Realitas/ al-waqi’
(alam, sosial, humanitas)
b.
Al-‘ilm
al-husuli
|
2.
|
Method
(Proses dan Prosedur)
|
a.
Abstraksi (almaujudah
al-bari’ah min al-madah)
b.
Bahtiyyah
– Tahliliyah – Tarkibiyyah – Naqdiyyah (al-Muhakamah al-Aqliyah)
|
3.
|
Approach
(Pendekatan)
|
Filosofis
– Scientific
|
4.
|
Theoritical
Framework (Kerangka Teori)
|
a.
Al-tasawwurat –
al-tasdiqatl al-Had al-Burhan
b.
Premis-premis
logika (al-mantiq)
-
Silogisme (2
premis + konklusi)
A = B
B = C
\ A
= C
-
Tahlilu
al-anasir al-asiyyah li tu’ida bina’ahu bi syaklin yubarrizu ma huwa
jauharyyun fihi
c.
Kulliy
– juziy Jauhar – ‘Aradh
|
5.
|
Fungsi
dan Peran Akal
|
a.
Heuristik –
Analitik – kritik (al-Mu’amah wa al-mukabadah wa ijalah al-nazr)
b.
Idraku
al-sabab wa al-musabbab
c.
Al-aql
al-kauny
|
6.
|
Types
of Argument
|
Demonstratif
(eksploratif, verivikatif, eksplanatif), pengaruh pola logika Aristotle dan
logika keilmuan pada umumnya.
|
7.
|
Tolok Ukur
Validitas Keilmuan
|
a.
Korespondensi
(hubungan antara akal dengan alam)
b.
Koherensi
c.
Pragmatik (Falibility
of Knowledge)
|
8.
|
Prinsip-prinsip
Dasar
|
a.
Idrak
al-asbab (Nizam al-sababiyyah al-tsabit)/ Prinsip Kausalitas
b.
Al-Hatmiyyah
(Kepastian; certainty)
c.
Al-Mutabaqah
baina al-Aql wa nizam al-Tabi’ah
|
9.
|
Kelompok
Ilmu-ilmu Pendukung
|
a.
Falasifah (Scholars)
b.
Ilmuwan
(Alam, Sosial, Humanitas)
|
10.
|
Hubungan
Subjek dan Objek
|
a.
Objective (al-Nazrah
al-Maudlu’iyyah)
b.
Objective
Rationalism (Terpisah antara subjek dan objek)
|
D.
Aplikasi Peradigma Burhani dalam Kajian Islam
Para filsuf Muslim dan filsuf Yunani dan Eropa berinteraksi dengan
objek yang berbeda karakteristiknya, maka konsekuensinya kaidah-kaidah yang
ditarik dari aktifitas pemikiran merekapun berbeda pula. Dalam hal ini, secara
spesifik para filsuf Muslim Timur (Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan),
seperti al-Kindi dan al-Farabi, masih diwarnai kecenderungan normatif yang
meguasai dan mengarahkan nalar Arab. Sementara filsuf Muslim Barat (Maroko dan
Andalusia/Spanyol), seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, mereka mampu
mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik tanpa
dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani.
Meski demikian, filsuf Muslim Barat tidak sepenuhnya burhani, mereka
masih terpengaruh perspektif normativitas nalar Arab. [28]
1.
Aplikasi Burhani bagi Filsuf Muslim Timur
Secara
historis, al-Kindi (185 – 252 H) adalah filsuf Muslim pertama yang mengakses
diskursus filosofis burhani Aristoteles di dunia Arab. Al-Kindi
menyatakan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat segala sesuatu yang
intinya tentang kebenaran awal, yakni Allah, sama seperti tujuan agama. Dia
memaparkan bahwa tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dengan kebenaran
rasional, karena keduanya merupakan penampakan atas satu kebenaran.
Walaupun
al-Kindi berusaha mempopulerkan konsep filsafat Aristotelian, paradigma
normatif nalar Arab masih mewarnai corak filsafatnya. Ia menggunakan filsafat
untuk menopang ajaran Islam tentang Tauhid. Menurut al-Kindi, Allah adalah Esa
dari segala lini, tidak ada kategori, tidak ada unsur, genus, spesies, jiwa,
akal, dan Esa bukan karena disandingkan dengan yang lain, Ia Esa secara
indepeden (wahid mursal). Lebih jauh, Allah adalah Sebab Pertama yang
tidak ada sebab di atasnya, yang berbuat dimana di atasnya tidak ada yang
menggerakkan, sempurna yang diatasnya tidak ada yang menyempurnakan dan yang
menjadikan sebagian atas sebagian lainnya dalam hubungan sebab akibat.[29]
Setelah
al-Kindi, al-Farabi (260 – 339 H) hadir beberapa dekade kemudian untuk
menyosialisasikan ide-ide demonstratif Aristotelian. Al-Farabi menyuarakan bila
tidak ada kontradiksi antara agama dengan filsafat karena keduanya
mengekspresikan satu kebenaran. Jika filsafat mengekspresikannya secara langsung,
secara demonstratif, maka agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang
imajiner dan replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui proses burhani
yang hanya dengan cara ini dimungkinkan
bisa berhubungan langsung dengan “akal aktif” (al-aql al-fa’al),
sedangkan Nabi menerima hal itu langsung dari sumbernya sendiri, melalui
imajinasinya.
Al-Farabi
ingin melampaui wacana bayani dan irfani dengan beralih kepada wacana burhani
yang tidak menyimpan kekaburan yang meyebabkan kekeliruan yang bisa
menyesatkannya. Ia meyakini dengan metode demonstratif yang terdiri dari
premis-premis yang valid dan niscaya yang diyakini oleh manusia dan diketahui
oleh akal akan menghasilkan pengetahuan yang pasti (yaqin). [30]
Demikianlah
wacana baru yang dari segi konsep dan pandangan ilmiah filosofisnya terkait
dengan Aristoteles dan metafisikanya sebagaimana dimunculkan oleh al-Kindi dan
al-Farabi. Wacana itu adalah wacana “akal universal (yaitu naluri yang
dengannya manusia mampu menarik kesimpulan berdasarka pemahamannya terhadap
hubungan antara segala sesuatu)” yang didasarkan pada sistem pengetahuan yang
khas dibangun berdasarkan burhan, dan oleh karenanya disebut dengan
sistem pengetahuan atau epistemologi burhani. [31]
2.
Aplikasi Burhani bagi Filsuf Muslim Barat
Membahas
tentang filsuf Muslim di Barat, Ibnu Hazm (384 – 456 H) merupakan salah satu
inovator terbesar pemikiran Arab-Islam. Dengan logika akal universal adopsi
pemikiran Aristoteles, ia menyanggah irasionalitas di kalangan Asy’ariyah,
serta menentang irfan kaum sufi. Menurutnya hanya akal, yakni akal
universal yang bisa diterima sebagai standar penilaian, penentu dan otoritas
referensial.[32]
Ia
menekankan logika sebagai keharusan dalam agama maupun ilmu rasional, karena
segala yang benar dalam metode demonstratif niscaya ada dalam Al-Qur’an dan
sabda nabi. Lebih jauh dengan logika yang sama, disamping akal, indra juga bisa
dijadikan jalan untuk meraih pengetahuan yang benar.
Terlepas
dari wacana pemikiran demonstratif, proyek filosofis Ibnu Hazm sepertinya masih
terikat dengan paradigma normatif nalar Arab. Ia menyatakan bahwa makna, hasil
dan tujuan mengkaji filsafat adalah untuk memperbaiki jiwa agar seseorang dapat
berbuat baik di dunia sehingga akan membawa keselamatan di hari kemudian. Dilihat
dari perspektif epistemologis, literalism Ibnu Hazm adalah proyek filosofis
yang berambisi melakukan pendasaran ulang terhadap bayan dan menata
kembali hubungannya dengan burhan dengan mengesampingkan irfan.[33]
Selain
Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd (520 – 595 H) juga mempunyai kontribusi rasionalismenya
yang mencakup dua aspek, yakni dalam ranah filsafat dan syari’at. Dalam ranah
filsafat, Ibnu Rusyd menyuarakan pemikiran rasionalisme dengan melakukan
pembelaan terhadap prinsip kausalitas. Rasionalisme Ibnu Rusyd memang merupakan
rasionalisme berjubah Aristotelian yang berpijak pada prinsip kausalitas bahwa
dalam segala dimensi alam semesta ada prinsip keteraturan dan keajekan yang
bisa dipahami oleh akal manusia. Menurutnya, jika mengingkari hukum kausalitas
itu sama saja dengan menutup jalan menuju pengetahuan tentang penyebab dari
sekian sebab, yaitu Allah SWT. [34]
Sedangkan
dalam ranah syari’ah, Ibnu Rusyd meyakini bahwa tidak ada kontradiksi antara
filsafat dan agama. Bila di permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka
hal itu lebih karena faktor kekeliruan dan kekurangpahaman dalam
menafsirkannya. Agama tidak menafikan metode burhani atau rasionalisme,
tapi malah menganjurkannya agar menjadi sarana yang efektif bagi kalangan ulama
atau kaum rasionalis (ashhab al-burhan) untuk memahami agama secara
rasional.
Penafsiran
agama secara rasional harus mematuhi prinsip dasarnya yaitu maqashid
al-syari’ (tujuan atau alasan mendasar pembuat syari’at) yang diberikan
oleh pembuat syari’at (Allah dan Rasul-Nya) pada kalangan masyarakat awam, dan
pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia pada nilai-nilai kebajikan
atau al-fadlilah. Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqashid
al-syari’” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan
“hukum-hukum kausalitas di alam ini” dalam disiplin filsafat.[35]
Dengan
tegas Ibnu Rusyd mengharuskan umat Islam untuk mempelajari filsafat dan
menggunakan silogisme demonstratif dalam mencari kebenarahn yang dipandangnya
sebagai jenis penalaran paling sempurna. Meski
demikian, Ibnu Rusyd juga memakai perspektif normatif Al-Qur’an
ketika berbicara mengenai keberadaan Tuhan. Menurutnya, fasilitas manusia di
dunia ini merupakan bukti adanya Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Argumen Ibnu Rusyd sebagian rasionaldan sebagia religius karena sebagian
argumennya didasarkan pada postulat Al-Qur’an.
[36]
Dalam membaca teks (quraniyah dan kauniyah),
paradigma burhani harus berdialog dengan jalur lingkar hermeneutis
terhadap epistemologi bayani dan irfani dalam satu gerak putar
yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki, dan menyempurnakan kekurangan
yang melekat pada masing-masing paradigma. Dalam tatanan kontemporer, hal itu
harus diperkaya dengan pendekatan lain, seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan,
dan sejarah. Sebab setiap epistemologi apapun tidak akan bersifat universal
mutlak. Ia bersifat universal sejauh terkait dengan kondisi sosial yang
melingkupinya, sehingga kesemuanya diharapkan saling mengisi kekurangan satu
sama lain, wallahu a’lam bish showab.[37]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paradigma burhani merupakan
sebuah pandangan atau cara berfikir manusia yang bersumber dari kemampuan
alaminya, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio atau akal sebagai upaya
untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat). Nalar
burhani di sini disandarkan secara keseluruhan pada filsafat Aristoteles
ditransfer ke dunia Arab melalui kegiatan penterjemahan di era
Khalifah Al-Ma’mun.
Metode burhani atau
demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian
premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Sebuah silogisme bisa
dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan pada fakta yang
teruji kebenarannya (primary truth), karena dengan demikian diperoleh
sebuah konklusi (natijah) yang meyakinkan menuju
sesuatu yang sangat penting.
Penerapan metode burhani
dilakukan oleh filsuf Muslim baik dari Timur maupun Barat. Para filsuf Muslim
Timur seperti al-Kindi dan al-Farabi, masih diwarnai kecenderungan normatif
yang meguasai dan mengarahkan nalar Arab. Sementara filsuf Muslim Barat seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, mereka
mampu mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik
tanpa dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani
meski masih terpengaruh perspektif normativitas nalar Arab.
B.
Saran
Demikian makalah ini saya buat,
mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang penulis miliki, maka
untuk medapat pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan kepada pembaca
untuk membaca literatur-literatur yang telah terlampir dalam daftar pustaka.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini. Oleh
karena itu kritik dan saran sangat diperlukan agar pembuatan makalah
selanjutnya bisa lebih baik. Semoga makalah yang penulis sajikan dapat
bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Afifi Fauzi, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani
dalam Ijtihad Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012
Najib,
Agus Moh., “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermeneia:
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 2, 2003
Mufid,
Fathul, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 17, No. 1, 2013
Kandiri,
“Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”, Jurnal
Lisan Al-Hal, Vol. 4, No. 2, 2012
Abdullah,
M. Amin, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2003
Abdullah,
M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Faisol,
M., “Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”, Jurnal TSAQAFAH, Vol.
6, No. 2, 2010
Al-Jabiri,
Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi), terj. Imam
Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014
Kadir,
Muslim A., Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003
Nasrullah,
“Nalar Irfani: Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya”, Hunafa:
Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 2012
Widodo,
Sembodo Ardi, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan Implikasinya terhadap
Keilmuan Pesantren”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vo.
6, No. 1, 2007
Syukur,
Suparman, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007
Zaprulkan,
Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014
[1] Kandiri,
“Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”, Jurnal
Lisan Al-Hal, Vol. 4, No. 2, 2012, hlm. 297
[2] KBBI Offline Versi 1.1, Ebta Setiawan, 2010
[3] Afifi Fauzi
Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani
dalam Ijtihad Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012, hlm.
53
[4] Sembodo Ardi
Widodo, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan Implikasinya terhadap Keilmuan
Pesantren”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vo. 6, No.
1, 2007, hlm. 79
[5] M. Faisol,
“Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”, Jurnal TSAQAFAH, Vol.
6, No. 2, 2010, hlm. 355
[6] Fathul Mufid,
“Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 17, No. 1, 2013, hlm. 35
[7] Muslim A.
Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 25
[8] Muslim A.
Kadir, Ilmu Islam Terapan..., hlm. 27
[9] Nasrullah, “Nalar
Irfani: Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya”, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 2012, hlm. 172
[10] Agus Moh.
Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermeneia:
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 2, 2003, hlm. 223
[11] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014),
hlm. 57
[12] Agus Moh.
Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam..., hlm. 224
[13] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 57-58
[14] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi), terj. Imam
Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 327 – 328
[15] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 341 –
342
[16] M. Faisol,
“Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”..., hlm. 357
[17] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 59
[18] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 60
[19] Afifi Fauzi
Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani
dalam Ijtihad Muhammadiyah”..., hlm. 54
[20] M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 213-214
[21] M. Amin
Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 26
[22] M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi..., hlm. 213
[23] Kandiri,
“Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”...,
hlm. 299
[24] Suparman
Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 104
[25] Term ta’wil
didefinisikan sebagai rumusan memalingkan suatu lafadz dari pengertian yang
lebih jelas ke makna yang tersembunyi, karena adanya argumentasi yang
mendukungnya. Ta’wil dapat diartikan pula sebagai cara untuk memahami
teks dengan menjadikan teks, dan atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan
dan interpretasi terhadap teks sebagai “objek” kajian. Lihat: Muslim A. Kadir, Ilmu
Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 18
[26] Afifi Fauzi
Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani
dalam Ijtihad Muhammadiyah”..., hlm. 54
[27] M. Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi..., hlm. 217-218
[28] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 56
[29] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 353 – 355
[30] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 364 –
368
[31] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 371
[32] Muhammad Abed
al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 457
[33] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 65 – 66
[34] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 66 – 67
[35] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 68
[36] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 70
[37] Zaprulkan, Filsafat
Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar