Sabtu, 29 Oktober 2016

Paradigma Burhani dalam Kajian Islam

PARADIGMA BURHANI DALAM KAJIAN
ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendekatan Ilmu Keislaman

Dosen Pengampu :
Dr. H. Muslih, MA



Disusun oleh :
Ummu Hanifah
(1500128013)


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2016


PARADIGMA BURHANI DALAM KAJIAN
ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK
I.          PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Ketika mengkaji pemikiran Islam klasik, termasuk di dalamnya hukum Islam, maka perlu melihat nalar yang dibentuk oleh kebudayaan Islam-Arab, karena hampir seluruh keilmuan Islam merupakan khazanah intelektual yang lahir dari dan diproduksi oleh kebudayaan Islam-Arab. Dalam keilmuan Islam (klasik) ada tiga nalar yang menjadi landasan berpijaknya, yaitu nalar bayani, 'irfani, dan burhani. Meski secara literal istilah ini sudah ada dalam berbagai teks keislaman, seperti Al-Qur'an, Bahasa Arab, filsafat, dan kalam, namun ketiga istilah tersebut muncul sebagai suatu bentuk penalaran atau epistemologi keilmuan Islam ketika Muhammad Abed al-Jabiri melakukan dekonstruksi atas tradisi keilmuan Islam dalam proyek "Kritik Nanar Arab"-nya.[1]
Apabila nalar bayani menjadikan teks baik dari al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' maupun hasil Ijtihad sebagai otoritas rujukan utama untuk memperoleh pengetahuan, sementara nalar 'irfani melalui metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapat pengetahuan, maka nalar burhani berpegang pada kekuatan alami manusia, berupa pengalaman indrawi dan otoritas akal, untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam.
Pada masa modern ini telah terjadi kebangkitan kembali kecenderungan menggunakan nalar burhani (rasional-filosofis) dalam mengkaji dan membangun konstruksi keilmuan hukum Islam. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai paradigma nalar burhani dalam kajian Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian paradigma burhani dalam kajian Islam?
2.    Bagaimana sejarah paradigma burhani dalam kajian Islam?
3.    Bagaimana metode paradigma burhani dalam kajian Islam?
4.    Bagaimana aplikasi paradigma burhani dalam kajian Islam?
II.          PEMBAHASAN
A.    Pengertian Paradigma Burhani dalam Kajian Islam
Burhan (Arab) berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah/clear) dan dapat membedakan (distinc/al-fashl); demonstration (Inggris), yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstratio (memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Menurut KBBI, burhan berarti tanda yang nyata, atau barang bukti.[2] Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode pengambilan kesimpulan atau deduksi (al-istintaj). Sedangkan dalam pengertian umum, burhani adalah “memutuskan sesuatu”.[3]
Burhan adalah salah satu jenis dari logika. Kalau logika itu bersifat umum, maka Burhan bersifat khusus, bagian dari logika itu sendiri, yaitu suatu rasionalitas yang mengantarkan kepada ilmu yakin. Sistem epistemik Burhani bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio bagi upaya pemerolehan pengetahuan tentang semesta dengan mendasarkannya pada keterkaitan antara sebab dan akibat (kausalitas).[4]
Menurut al-Jabiri yang dikutip oleh M. Faisol dalam jurnalnya, bahwa epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu.[5] Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Oleh karena itu burhani lebih bersandar pada kekuatan alami manusia berupa indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai pengetahuan.
Epistemologi burhani atau pendekatan rasional argumentatif ini merupakan pendekatan yang didasarkan pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Berbeda dengan epistimologi bayani dan ‘irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, epistimologi burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman spiritual. Burhani menyandarkan diri pada rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima jika ia sesuai dengan logika rasional. Jadi, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq.[6]
Menurut Muslim A. Kadir, al-burhani adalah sebuah metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi.[7] Filsafat Islam yang menjadi unsur utama al-‘ilm al-husuli, membahas masalah-masalah filsafat, seperti hubungan antara agama dengan filsafat, masalah ketuhanan, hakekat ilmu, dan bahasan dasar lainnya. [8]
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa paradigma burhani merupakan sebuah pandangan atau cara berfikir manusia yang bersumber dari kemampuan alaminya, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio atau akal sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan yang jelas berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat). Dalam kajian Islam, paradigma burhani dipakai untuk memahami masalah ketuhanan dan dalil-dalil agama sehingga dapat diterima oleh rasio manusia.
Burhani adalah sistem pengetahuan yang dominan berkembang di wilayah Barat (Maghrib). Untuk saat ini harus diakui, dunia Islam jauh tertinggal dari Barat dalam capaian ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil dari sistem pengetahuan burhani yang bersifat rasional-empiris. Umat Islam saat ini harus menjemput kembali tradisi burhani yang pernah jaya dalam masa keemasan Islam masa lalu. Umat Islam seharusnya tidak terlalu “larut” dalam sistem pengetahuan bayani dan ‘irfani yang mendominasi dunia Islam pasca berakhirnya kejayaan Islam seiring bangkitnya Barat.[9]

B.     Sejarah Paradigma Burhani dalam Kajian Islam
Nalar burhani identik dengan filsafat yang masuk dari Yunani ke dunia Islam. Namun demikian, dalam konteks keilmuan Islam klasik, penyebutan nalar burhani hanya ditujukan untuk pemikiran filsafat Aristoteles. Dengan demikian nalar burhani di sini disandarkan secara keseluruhan pada filsafat Aristoteles.[10] Aristoteles adalah orang yang menyusun metode logika secara sistematis, dan logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka ilmu-ilmu filsafat. Karena kejeniusannya dalam formulasi-formulasi persoalan logika dan filsafat, ia dijuluki Guru Pertama (The First Teacher).[11]
Istilah logika  (logic/al-mantiq) sendiri diberikan oleh Alexander Aphrodisias, salah seorang komentator terbesar Aristoteles yang hidup pada abad 2-3 M. Sementara Aristoteles menyebutnya dengan istilah Analitika (analytica, at-tahlil), yang maksudnya adalah menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. [12]
Dalam sudut pandang filsafat, Aristoteles membicarakan tentang sesuatu yang “transenden”, tentang “Tuhan” dengan uraian filosofis yang mampu dicerna nalar dan sepenuhnya rasional. Ia mengidentifikasi Tuhan sebagai Penggerak Pertama. Penggerak yang tidak digerakkan mengakibatkan semua gerak dan aktivitas di alam semesta, karena setiap pergerakan meniscayakan sebab yang dapat dilacak kembali pada sumber tunggal. Meskipun pemikiran Aristoteles tentang Tuhan tidak banyak terkait dengan agama, Tuhan yang tidak menciptakan dunia, tidak mewahyukan dirinya dalam sejarah dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat. Filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek rasionalitas akal daripada spiritualitas moral.[13]
Selanjutnya pemikiran Yunani yang telah terdokumentasikan ditransfer ke dunia Arab melalui kegiatan penterjemahan di era Khalifah Al-Ma’mun (218 – 227 H). Penerjemahan bermula ketika al-Makmun, khalifah umat Islam melihat Aristoteles dalam mimpinya, dalam mimpinya tersebut, al-Makmun bertanya kepada Aristoteles, “apakah yang disebut kebaikan?”. Dia menjawab, “kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal, kemudian apa yang dikategorikan baik oleh syara’, dan terakhir apa yang dipandang baik oleh Jumhur.” Al-Makmun menganggap mimpi tersebut sebagai ru’yah shadiqoh (mimpi yang benar) dan mulai menggunakan kekuatan negara untuk menghimpun dan menerjemahkan karya-karya Aristoteles sebagai “proyek religius”.[14]
Gerakan penterjemahan yang dilakukan al-Makmun dan didukung oleh kekuatan negara tersebut bukan semata-mata karena mimpi al-Makmun, tujuan dasarnya adalah menentang Gnostisisme Almanawiyah dan irfan Syiah yakni sumber pengetahuan yang dijadikan dasar oleh gerakan-gerakan yang menentang Daulah Abbasiyah. Al-Makmun memanfaatkan Aristoteles untuk melawan Gnostisisme Almanawiyah dan irfan Syiah yang tidak hanya menyerang Abbasiyah sebagai negara tapi juga sebagai pemikiran keagamaan resmi dengan kedua sisi utamanya yakni sunni dan mu’tazili. Dengan demikian, mau tidak mau Abbasiyah harus menggunakan senjata yang kuat untuk menghadapi “ketersingkiran akal”, dan tidak ada senjata lain kecuali “akal universal” musuh historisnya.[15]
Nalar burhani masuk pertama kali kedalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185 – 252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‘disadur’ dari filsafatnya Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada Khalifah al-Makmun. Di dalam al-falsafah al-Ula, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi, karena dengannya hakekat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat, yang merupakan jalan untuk mengetahui kebenaran. [16]
Namun berbeda dengan konsep nalar Yunani yang berkaitan dengan upaya memahami sebab, yakni pengetahuan, maka nalar Arab pada dasarnya berhubungan dengan perilaku dan akhlak. Dalam pemikiran Arab, pengetahuan adalah usaha untuk membedakan objek pengetahuan (baik indrawi maupun sosial) antara yang baik dan yang buruk. Signifikansi dan peran akal adalah mengarahkan pemiliknya kepada perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela.
Pada kerangka ini, ketika sistem pengetahuan burhani Yunani bersentuhan dengan wilayah pemikiran Arab, ia tidak sepenuhnya bersifat logis-filosofis lagi. Melalui nalar Arab dengan perspektif normatifnya, para filsuf Muslim terdorong untuk menyajikan bahan-bahan filosofis rasional dalam sintesis-sintesis yang baru dan independen, yang mempunyai corak Islam.[17] Demikian paradigma nalar terbentuk sebagai sistem pengetahuan Arab dengan orientasi etika dan moralnya bergabung dengan epistemologi Yunani yang berorientasi dengan dunia natural, dunia kausalitas.

C.    Metode Burhani dalam Kajian Islam
Sebagai aktifitas kognitif, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Dalam penuturan Aristoteles, yang dimaksud dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni silogisme yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan.[18]
Pembahasan tentang metode silogisme demonstratif atau qiyas burhani dilakukan dengan memerhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam dua preposisi (qadhiyyah) yang disebut premis-premis mayor dan minornya, serta ada atau tidaknya middle term/ terminus medius (term tengah) yang sah yang mengantarai kedua premis tersebut. Sebuah silogisme bisa dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan pada fakta yang teruji kebenarannya (primary truth), karena dengan demikian diperoleh sebuah konklusi (natijah) yang meyakinkan menuju sesuatu yang sangat penting. [19] Contoh klasik silogisme demonstratif adalah sebagai berikut:
            Premis mayor                 : Semua manusia akan mati
            
Premis Minor                  : Socrates adalah manusia
\ Konklusi                    : Socrates akan mati                           
Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi (almaujudah al-bari’ah min al-madah) dan pengalaman inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan (grounded research) dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat (Idraku al-sabab wa al-musabbab).
Untuk mencari sebab dan musabab yang terjadi pada peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Fungsi dan peran akal bukanlah untuk mengukuhkan kebenaran teks seperti yang ada dalam nalar bayani, tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji terus menerus (heuristik) kesimpulan-kesimpulan  dan teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan.
Filosof Muslim Ibn Rusyd sangat menekankan proses kerja akal pikiran seperti ini sebagaimana yang dilakukan dan dikonseptualisasikan oleh Aristoteles. Fungsi akal yang bersifat heuristik dengan sendiriya akan membentuk budaya kerja penelitian, baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif, maupun verifikatif.
Tolok ukur validitas keilmuan dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi (Al-Mutabaqah baina al-Aql wa nizam al-Tabi’ah), yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia (pragmatik).[20]
Letak keunggulan metode demonstratif (burhani) dengan metode yang lain adalah kenyataan bahwa ia menggunakan silogisme atau penalaran logis dengan menggunakan premis-premis yang “benar, primer, dan niscaya”. Sifat pasti dari metode ini menyebabkan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh niscaya merupakan pengetahuan yang benar dan pasti.[21]
Epistemologi burhani bersumber dari realitas (al-waqi’) baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-‘ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan lewat premis-premis logika (al-mantiq), dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi.[22]
Jika bayani dan irfani masih mengaitkan dengan teks suci, namun burhani lebih mengandalkan kekuatan rasio atau akal yang dilakukan melalui dalil-dalil logika (dalil agama hanya bisa diterima jika sesuai dengan logika rasional).[23] Penalaran burhani tidak akan bertentangan dengan syara’ sebagaimana penjelasan Ibnu Rusyd yang dikutip oleh Suparman Syukur, yang menyatakan bahwa:
“Jika syari’at itu benar adanya sejak ia mengajak kepada penalaran yang akan menggiring ke arah pengetahuan kebenaran, maka kita tahu pasti bahwa penalaran burhani tidak akan bertentangan sedikitpun dengan syari’at. Kebenaran yang satu jelas tidak akan berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan justru saling mendukung disamping masing-masing berada pada posisi yang kokoh.”[24]
Apabila penalaran burhani berusaha memahami segala yang ada, maka hal itu mengindikasikan dua kemungkinan, dimana masalah itu dibicarakan oleh syara’ atau tidak dibicarakan. Apabila suatu masalah tidak dibicarakan oleh syara’, maka hal itu tidak berarti bertentangan. Menyikapi keadaan seperti ini diperlukan seorang mujtahid yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan qiyas syar’i. Begitu juga jika sesuatu dibicarakan dalam syara’, hal itu mengandung dua kemungkinan juga: bersesuaian dengan nalar burhani atau justru bertentangan. Jika terjadi pada yang kedua, maka pemahamannya dilakukan dengan metode ta’wil.[25]
Pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif melalui dalil-dalil logika, menjadikan teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam konteks ini metode ta‘lili, yakni pola penafsiran yang bertumpu pada ‘illah yang diyakini berada pada kandungan Ayat atau Hadis yang menjadi tambatan ditetapkannya suatu norma. Artinya, lafzh tidak cukup hanya dipahami berdasarkan arti kebahasaannya, tetapi juga dilihat dalam perspektif sosio-historisnya. Analisis pada metode ini dapat dibedakan kepada penalaran qiyasi, istihsani, maupun istishlahi.[26] Berikut ini tabel ringkasan pendekatan nalar burhani:[27]
1.
Origin (Sumber)
a.       Realitas/ al-waqi’ (alam, sosial, humanitas)
b.      Al-‘ilm al-husuli
2.
Method (Proses dan Prosedur)
a.       Abstraksi (almaujudah al-bari’ah min al-madah)
b.      Bahtiyyah – Tahliliyah – Tarkibiyyah – Naqdiyyah (al-Muhakamah al-Aqliyah)
3.
Approach (Pendekatan)
Filosofis – Scientific
4.
Theoritical Framework (Kerangka Teori)
a.       Al-tasawwuratal-tasdiqatl al-Had al-Burhan
b.      Premis-premis logika (al-mantiq)
-          Silogisme (2 premis + konklusi)
A = B
B = C
 \ A = C
-          Tahlilu al-anasir al-asiyyah li tu’ida bina’ahu bi syaklin yubarrizu ma huwa jauharyyun fihi
c.       Kulliy – juziy Jauhar – ‘Aradh
5.
Fungsi dan Peran Akal
a.       Heuristik – Analitik – kritik (al-Mu’amah wa al-mukabadah wa ijalah al-nazr)
b.      Idraku al-sabab wa al-musabbab
c.       Al-aql al-kauny
6.
Types of Argument
Demonstratif (eksploratif, verivikatif, eksplanatif), pengaruh pola logika Aristotle dan logika keilmuan pada umumnya.
7.
Tolok Ukur Validitas Keilmuan
a.       Korespondensi (hubungan antara akal dengan alam)
b.      Koherensi
c.       Pragmatik (Falibility of Knowledge)
8.
Prinsip-prinsip Dasar
a.       Idrak al-asbab (Nizam al-sababiyyah al-tsabit)/ Prinsip Kausalitas
b.      Al-Hatmiyyah (Kepastian; certainty)
c.       Al-Mutabaqah baina al-Aql wa nizam al-Tabi’ah
9.
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
a.       Falasifah (Scholars)
b.      Ilmuwan (Alam, Sosial, Humanitas)
10.
Hubungan Subjek dan Objek
a.       Objective (al-Nazrah al-Maudlu’iyyah)
b.      Objective Rationalism (Terpisah antara subjek dan objek)


D.    Aplikasi Peradigma Burhani dalam Kajian Islam
Para filsuf Muslim dan filsuf Yunani dan Eropa berinteraksi dengan objek yang berbeda karakteristiknya, maka konsekuensinya kaidah-kaidah yang ditarik dari aktifitas pemikiran merekapun berbeda pula. Dalam hal ini, secara spesifik para filsuf Muslim Timur (Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan), seperti al-Kindi dan al-Farabi, masih diwarnai kecenderungan normatif yang meguasai dan mengarahkan nalar Arab. Sementara filsuf Muslim Barat (Maroko dan Andalusia/Spanyol), seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, mereka mampu mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik tanpa dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani. Meski demikian, filsuf Muslim Barat tidak sepenuhnya burhani, mereka masih terpengaruh perspektif normativitas nalar Arab. [28]
1.      Aplikasi Burhani bagi Filsuf Muslim Timur
Secara historis, al-Kindi (185 – 252 H) adalah filsuf Muslim pertama yang mengakses diskursus filosofis burhani Aristoteles di dunia Arab. Al-Kindi menyatakan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat segala sesuatu yang intinya tentang kebenaran awal, yakni Allah, sama seperti tujuan agama. Dia memaparkan bahwa tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dengan kebenaran rasional, karena keduanya merupakan penampakan atas satu kebenaran.
Walaupun al-Kindi berusaha mempopulerkan konsep filsafat Aristotelian, paradigma normatif nalar Arab masih mewarnai corak filsafatnya. Ia menggunakan filsafat untuk menopang ajaran Islam tentang Tauhid. Menurut al-Kindi, Allah adalah Esa dari segala lini, tidak ada kategori, tidak ada unsur, genus, spesies, jiwa, akal, dan Esa bukan karena disandingkan dengan yang lain, Ia Esa secara indepeden (wahid mursal). Lebih jauh, Allah adalah Sebab Pertama yang tidak ada sebab di atasnya, yang berbuat dimana di atasnya tidak ada yang menggerakkan, sempurna yang diatasnya tidak ada yang menyempurnakan dan yang menjadikan sebagian atas sebagian lainnya dalam hubungan sebab akibat.[29]
Setelah al-Kindi, al-Farabi (260 – 339 H) hadir beberapa dekade kemudian untuk menyosialisasikan ide-ide demonstratif Aristotelian. Al-Farabi menyuarakan bila tidak ada kontradiksi antara agama dengan filsafat karena keduanya mengekspresikan satu kebenaran. Jika filsafat mengekspresikannya secara langsung, secara demonstratif, maka agama mengekspresikannya melalui lambang-lambang imajiner dan replikasi. Filsuf memahaminya dengan akal, yakni melalui proses burhani yang hanya  dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan langsung dengan “akal aktif” (al-aql al-fa’al), sedangkan Nabi menerima hal itu langsung dari sumbernya sendiri, melalui imajinasinya.
Al-Farabi ingin melampaui wacana bayani dan irfani dengan beralih kepada wacana burhani yang tidak menyimpan kekaburan yang meyebabkan kekeliruan yang bisa menyesatkannya. Ia meyakini dengan metode demonstratif yang terdiri dari premis-premis yang valid dan niscaya yang diyakini oleh manusia dan diketahui oleh akal akan menghasilkan pengetahuan yang pasti (yaqin). [30]
Demikianlah wacana baru yang dari segi konsep dan pandangan ilmiah filosofisnya terkait dengan Aristoteles dan metafisikanya sebagaimana dimunculkan oleh al-Kindi dan al-Farabi. Wacana itu adalah wacana “akal universal (yaitu naluri yang dengannya manusia mampu menarik kesimpulan berdasarka pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu)” yang didasarkan pada sistem pengetahuan yang khas dibangun berdasarkan burhan, dan oleh karenanya disebut dengan sistem pengetahuan atau epistemologi burhani. [31]


2.      Aplikasi Burhani bagi Filsuf Muslim Barat
Membahas tentang filsuf Muslim di Barat, Ibnu Hazm (384 – 456 H) merupakan salah satu inovator terbesar pemikiran Arab-Islam. Dengan logika akal universal adopsi pemikiran Aristoteles, ia menyanggah irasionalitas di kalangan Asy’ariyah, serta menentang irfan kaum sufi. Menurutnya hanya akal, yakni akal universal yang bisa diterima sebagai standar penilaian, penentu dan otoritas referensial.[32]
Ia menekankan logika sebagai keharusan dalam agama maupun ilmu rasional, karena segala yang benar dalam metode demonstratif niscaya ada dalam Al-Qur’an dan sabda nabi. Lebih jauh dengan logika yang sama, disamping akal, indra juga bisa dijadikan jalan untuk meraih pengetahuan yang benar.
Terlepas dari wacana pemikiran demonstratif, proyek filosofis Ibnu Hazm sepertinya masih terikat dengan paradigma normatif nalar Arab. Ia menyatakan bahwa makna, hasil dan tujuan mengkaji filsafat adalah untuk memperbaiki jiwa agar seseorang dapat berbuat baik di dunia sehingga akan membawa keselamatan di hari kemudian. Dilihat dari perspektif epistemologis, literalism Ibnu Hazm adalah proyek filosofis yang berambisi melakukan pendasaran ulang terhadap bayan dan menata kembali hubungannya dengan burhan dengan mengesampingkan irfan.[33]  
Selain Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd (520 – 595 H) juga mempunyai kontribusi rasionalismenya yang mencakup dua aspek, yakni dalam ranah filsafat dan syari’at. Dalam ranah filsafat, Ibnu Rusyd menyuarakan pemikiran rasionalisme dengan melakukan pembelaan terhadap prinsip kausalitas. Rasionalisme Ibnu Rusyd memang merupakan rasionalisme berjubah Aristotelian yang berpijak pada prinsip kausalitas bahwa dalam segala dimensi alam semesta ada prinsip keteraturan dan keajekan yang bisa dipahami oleh akal manusia. Menurutnya, jika mengingkari hukum kausalitas itu sama saja dengan menutup jalan menuju pengetahuan tentang penyebab dari sekian sebab, yaitu Allah SWT. [34]
Sedangkan dalam ranah syari’ah, Ibnu Rusyd meyakini bahwa tidak ada kontradiksi antara filsafat dan agama. Bila di permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu lebih karena faktor kekeliruan dan kekurangpahaman dalam menafsirkannya. Agama tidak menafikan metode burhani atau rasionalisme, tapi malah menganjurkannya agar menjadi sarana yang efektif bagi kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashhab al-burhan) untuk memahami agama secara rasional. 
Penafsiran agama secara rasional harus mematuhi prinsip dasarnya yaitu maqashid al-syari’ (tujuan atau alasan mendasar pembuat syari’at) yang diberikan oleh pembuat syari’at (Allah dan Rasul-Nya) pada kalangan masyarakat awam, dan pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia pada nilai-nilai kebajikan atau al-fadlilah. Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan “maqashid al-syari’” dalam disiplin ilmu-ilmu agama sebanding dengan gagasan “hukum-hukum kausalitas di alam ini” dalam disiplin filsafat.[35]
Dengan tegas Ibnu Rusyd mengharuskan umat Islam untuk mempelajari filsafat dan menggunakan silogisme demonstratif dalam mencari kebenarahn yang dipandangnya sebagai jenis penalaran paling sempurna. Meski demikian, Ibnu Rusyd juga memakai perspektif normatif Al-Qur’an ketika berbicara mengenai keberadaan Tuhan. Menurutnya, fasilitas manusia di dunia ini merupakan bukti adanya Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Argumen Ibnu Rusyd sebagian rasionaldan sebagia religius karena sebagian argumennya didasarkan pada postulat Al-Qur’an. [36]

Dalam membaca teks (quraniyah dan kauniyah), paradigma burhani harus berdialog dengan jalur lingkar hermeneutis terhadap epistemologi bayani dan irfani dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki, dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma. Dalam tatanan kontemporer, hal itu harus diperkaya dengan pendekatan lain, seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan, dan sejarah. Sebab setiap epistemologi apapun tidak akan bersifat universal mutlak. Ia bersifat universal sejauh terkait dengan kondisi sosial yang melingkupinya, sehingga kesemuanya diharapkan saling mengisi kekurangan satu sama lain, wallahu a’lam bish showab.[37]

III.          PENUTUP
A.    Kesimpulan
Paradigma burhani merupakan sebuah pandangan atau cara berfikir manusia yang bersumber dari kemampuan alaminya, baik berupa indera, pengalaman, maupun rasio atau akal sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat). Nalar burhani di sini disandarkan secara keseluruhan pada filsafat Aristoteles ditransfer ke dunia Arab melalui kegiatan penterjemahan di era Khalifah Al-Ma’mun.
Metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Sebuah silogisme bisa dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan pada fakta yang teruji kebenarannya (primary truth), karena dengan demikian diperoleh sebuah konklusi (natijah) yang meyakinkan menuju sesuatu yang sangat penting.
Penerapan metode burhani dilakukan oleh filsuf Muslim baik dari Timur maupun Barat. Para filsuf Muslim Timur seperti al-Kindi dan al-Farabi, masih diwarnai kecenderungan normatif yang meguasai dan mengarahkan nalar Arab. Sementara filsuf Muslim Barat  seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, mereka mampu mengaplikasikan epistemologi burhani Aristoteles secara autentik tanpa dipengaruhi nalar dominan Arab yang lebih bernuansa bayani dan irfani meski masih terpengaruh perspektif normativitas nalar Arab.

B.     Saran
Demikian makalah ini saya buat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang penulis miliki, maka untuk medapat pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan kepada pembaca untuk membaca literatur-literatur yang telah terlampir dalam daftar pustaka. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan agar pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik. Semoga makalah yang penulis sajikan dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Afifi Fauzi, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani dalam Ijtihad Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012
Najib, Agus Moh., “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 2, 2003
Mufid, Fathul, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 17, No. 1, 2013
Kandiri, “Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”, Jurnal Lisan Al-Hal, Vol. 4, No. 2, 2012
Abdullah, M. Amin, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Faisol, M., “Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, 2010
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi), terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014
Kadir, Muslim A., Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Nasrullah, “Nalar Irfani: Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 2012
Widodo, Sembodo Ardi, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan Implikasinya terhadap Keilmuan Pesantren”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vo. 6, No. 1, 2007
Syukur, Suparman, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014





[1] Kandiri, “Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”, Jurnal Lisan Al-Hal, Vol. 4, No. 2, 2012, hlm. 297
[2]  KBBI Offline Versi 1.1, Ebta Setiawan, 2010
[3] Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani dalam Ijtihad Muhammadiyah”, Jurnal Ahkam, Vol. XII, No. 1, 2012, hlm. 53
[4] Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayani, ‘Irfani, dan Burhani dan Implikasinya terhadap Keilmuan Pesantren”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vo. 6, No. 1, 2007, hlm. 79
[5] M. Faisol, “Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, 2010, hlm. 355
[6] Fathul Mufid, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 17, No. 1, 2013, hlm. 35
[7] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 25
[8] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan..., hlm. 27
[9] Nasrullah, “Nalar Irfani: Tradisi Pembentukan dan Karakteristiknya”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, 2012, hlm. 172
[10] Agus Moh. Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 2, 2003, hlm. 223
[11] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 57
[12] Agus Moh. Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam..., hlm. 224
[13] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 57-58
[14] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi), terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), hlm. 327 – 328
[15] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 341 – 342  
[16] M. Faisol, “Struktur nalar Arab-Islam menurut Abid al-Jabiri”..., hlm. 357
[17] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 59
[18] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 60
[19] Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani dalam Ijtihad Muhammadiyah”..., hlm. 54
[20] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 213-214
[21] M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 26
[22] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi..., hlm. 213
[23] Kandiri, “Epistemologi Pengembangan Pemikiran Islam menurut Muhammad Abid Al-Jabiry”..., hlm. 299
[24] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 104
[25] Term ta’wil didefinisikan sebagai rumusan memalingkan suatu lafadz dari pengertian yang lebih jelas ke makna yang tersembunyi, karena adanya argumentasi yang mendukungnya. Ta’wil dapat diartikan pula sebagai cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, dan atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai “objek” kajian. Lihat: Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 18
[26] Afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani dalam Ijtihad Muhammadiyah”..., hlm. 54
[27] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi..., hlm. 217-218
[28] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 56
[29] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 353 – 355
[30] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 364 – 368
[31] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 371
[32] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab (Takwin al-Aql al’Arabi)..., hlm. 457
[33] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 65 – 66
[34] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 66 – 67
[35] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 68 
[36] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 70
[37] Zaprulkan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik..., hlm. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar