NIM : 113111022
Dosen
: Ahmad Afnan Ansori M.A.
M.Hum
DALAM AGAMA BUDHA DAN HINDU
I.
PENDAHULUAN
Berdasarkan suatu antropologis filosofis, hidup
diatas bumi ini menuju kearah hidup kekal. Meninggalkan dunia ini, yang kita
pahami berarti merasa ditinggalkan oleh semua orang yang penting bagi kita, dan
merasa direnggut dari orang-orang yang kita cintai. Seakan-akan kita diamputasi
dari semua yang memberikan otentitas kepada diri kita untuk dilemparkan kedalam
kegelapan dan kesunyian.[1]
Setiap agama berbeda dalam memahami dan memaknai kematian, sehingga
ritualismenya pun berbeda. Upacara dan ritual
merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna
menarik masyarakat. Maka dibawah ini akan dibahas mengenai studi
komparatif antara ritual kematian khususnya ritual pembakaran mayat antara Agama
Budha dan Hindu.
II.
RITUAL
PEMBAKARAN MAYAT DALAM AGAMA BUDHA DAN HINDU
Dalam Agama Budha saat ada orang yang
mati terdapat ritual pembakaran mayat (kremasi). Orang yang sudah mati dimandikan. Saat
memandikan, jenazah ditutup dengan selimut mantra (wan seng pei), setelah lewat
12 jam, selimut dibuka untuk mengganti pakaian dan membersihkan tubuh jenazah
lalu ditutup selimut mantra lagi. Saat pembakarannya (kremasi), selimut dibuka
dan dilipat. Setelah dibakar dan abunya dimasukkan kedalam tempayan, penaburan
pasir dan peletakan kertas mantra, setelah itu tempayan abu jenazah dibungkus
dengan selimut mantra. [2]
Dalam Agama Hindu, jika ada orang yang mati juga terdapat
ritual pembakaran mayat. Disini penulis menspesifikkan pembahasan pada
pembakaran mayat dalam Agama Hindu orang Bali yang dikenal dengan istilah “Ngaben”.
Pembakaran mayat bagi orang Hindu Bali dilakukan setelah jenazahnya dikubur
atau disimpan beberapa hari untuk menunggu hari baik. Biasanya mayat pendeta
dari golongan Brahmana tidak boleh dikubur, melainkan harus disegerakan
pembakarannya. Dalam ritual kematian orang Bali, seorang yang meninggal
terlebih dahulu disucikan dengan tanah (dikubur), lalu dibakar.[3]
Pada hari pembakaran diadakan sedekah, prabelina, mayat dimasukkan lalu diusung
dengan iring-iringan. Setelah pembakaran pada hari itu juga atau sehari
kemudian diadakan sedekah ngarim, para kerabat mengumpulkan abu lalu
bersama-sama bersembahyang. Abu dimasukkan dalam dagan (kelapa muda) kelapa
gading lalu dibawa ke laut ayau sungai dengan peralatan dimasukkan kedalam air.
Selang tiga hari diadakan sedekah mapegat, maksudnya menyucikan tanah keluarga
yang sial habis membakar mayat. Setelah selesai, lalu sedekah nyakah, mukur dan
ngluwer semuanya untuk bersuci.[4]
III.
ANALISIS
PERBANDINGAN
1. Persamaannya
Antara Agama Budha dan Hindu sama-sama
terdapat ritual untuk orang yang meninggal yaitu upacara pembakaran mayat.
Dalam agama Budha dan Hindu sama-sama terdapat kepercayaan bahwa orang yang
meninggal itu roh atau jiwanya kembali ketempat asalnya, Budha kembali menyatu
dengan Tuhan sedangkan Hindu kembali kepada Dewa-dewanya. Dalam agama Budha dan
Hindu juga terdapat kepercayaan bahwa
setelah meninggal, orang itu akan mengalami reinkarnasi (terlahir kembali).
2. Perbedaannya
Ø Dari aspek Fenomenologinya
Menurut ajaran Budha, setelah dikremasi
(dibakar) jiwa itu kembali kepada Tuhan dengan kata lain bersatu kembali dengan
zat Tuhan. Ada kepercayaan bahwa selimut pembungkus mayat (wan seng pei) tidak
boleh dibakar, jika membakar akan menghasilkan karma buruk. Kecuali bila
terkena darah atau keadaannya sangat memprihatinkan, maka boleh dibakar dengan
hati penuh hormat. Tulang mayat yang menjadi hitam setelah perabuan menunjukkan
bahwa almarhum telah memperbuat karma buruk semasa hidup.[5]
Dalam ajaran Budha terdapat istilah reinkarnasi, yaitu lahir kembali dalam
tubuh makhluk lain sampai beberapa kali, hingga menjadi orang yang sempurna
baik.
Sedangkan
menurut kepercayaan Agama Hindu, Penguburan
jenazah dimaksudkan untuk mensucikan mayatnya dengan tanah. Pembakarannya
dimaksudkan untuk memberi pertolongan mayat dengan api (mensucikannya), dan
melempar abunya kelaut dimaksudkan untuk menghilangkan penyakit menular dari
mayat itu.[6]
Untuk upacara pembakarannya, didepan rumah orang yang meninggal dibuat panggung
tempat mengusung mayat ke pembakaran. Panggung bagi golongan triwangsa
dinamakan “bade” dengan bertingkat tiga atau sebelas, sedangkan bagi golongan
sudra bernama “wadak” yang hanya beratap satu. Selain itu juga dibuat
petulangan berupa patug “pembersihan”. Di dalam
Panca Yadnya, upacara pembakaran mayat termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk
roh lelulur. Manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal ketiganya
itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Makna
upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang
sudah meninggal) ke tempat asalnya dan akan mengalami reinkarnasi. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami
reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang
cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Ø Dari aspek historisnya
Pelaksanaan
ritual pembakaran mayat (kremasi) dalam Agama Budha didasarkan pada sejarah
kematian penyiar Agama Budha, yakni Sidarta Gautama. Ia mati setelah 40 tahun menyiarkan ajarannya
(Budha) yaitu saat usianya 83 pada tahun 483 SM di suatu tempat yang bernama
Kusinara. Saat ia mati, jenazahnya dibakar. Saat itu, terjadi gempa bumi seakan
alam ikut berduka. Ketika pembakaran, yang hangus hanya pembungkus dan
dagingnya, sedangkan tulangnya utuh.[7]
Sedangkan dalam Agama Hindu, pembakaran
mayat didasarkan pada sejarah dalam kisah Ramayana dan Mahabarata. Dalam kisah Ramayana, saat rama menang melawan Raja
Rahwana yang menculik Shinta (istri Rama), Shinta diuji kesuciannya dengan jalan dibakar. Terbukti setelah dibakar, tubuh
Shinta tidak terbakar. Juga dikisahkan dalam kisah Mahabarata, para Kurawa
kalah dan gugur dalam medan pertempuran melawan Pandawa. Dan mayat para
pahlawan yang gugur itu dibakar.[8]
Ø
Dari aspek sosiologis
Dalam
Agama Budha, setelah meninggal orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang tuli dapat mendengar,
badannyapun bebas. Jika pada waktu itu ada sanak kaluarganya yang mangadakan
upacara kematian dan memanggil namanya, maka dia akan mendekati jenazah dan
menjadi sadar bahwa dia telah tiada. Jika pada saat kematian keluarga
almarhum mengadakan upacara kematian dengan menyajikan sajian hasil pembunuhan
hewan misalnya babi, ayam, dan sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru
semakin menambah penderitaan orang yang meninggal.
Dalam
Agama Hindu, Upacara
ngaben ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu
keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena
itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Setelah upacara
ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura
masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat,
karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya.
IV.
KESIMPULAN
Dari studi komparatif ini, penulis dapat
menyimpulkan bahwa setiap agama mempunyai ritual masing-masing, seperti ritual
pembakaran mayat pada agama Budha dan Hindu. Dan ritual pembakaran mayat itu
mempunyai nilai dan makna tersendiri dilihat dari segi fenomenanya,
historisnya, maupun sosiologisnya menurut Agama Budha dan Hindu.
DAFTAR
PUSTAKA
Leahy, Louis. Misteri Kematian Suatu
Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1998
Lik, Bhiksu Hui. Tata Cara Mengurus
Orang Meninggal secara Budhis. Batam: Vihara Budhayana. t.th
Ali, Abdullah. Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama. Bandung:
Nuansa Ilmu. 2007
Jirhanuddin. Perbandingan
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Mansur, Sufa’at. Agama-agama Besar Masa Kini. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2011
Rifai, Moh. Perbandingan
Agama. Semarang: Wicaksana. 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar