Sabtu, 29 Oktober 2016

Komparasi Ritual Perbandingan Agama


Nama              : Ummu Hanifah
NIM                : 113111022
Dosen              : Ahmad Afnan Ansori M.A. M.Hum

KOMPARASI RITUAL PEMBAKARAN MAYAT
DALAM AGAMA BUDHA DAN HINDU

I.          PENDAHULUAN
Berdasarkan suatu antropologis filosofis, hidup diatas bumi ini menuju kearah hidup kekal. Meninggalkan dunia ini, yang kita pahami berarti merasa ditinggalkan oleh semua orang yang penting bagi kita, dan merasa direnggut dari orang-orang yang kita cintai. Seakan-akan kita diamputasi dari semua yang memberikan otentitas kepada diri kita untuk dilemparkan kedalam kegelapan dan kesunyian.[1] Setiap agama berbeda dalam memahami dan memaknai kematian, sehingga ritualismenya pun berbeda. Upacara dan ritual merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna menarik masyarakat. Maka dibawah ini akan dibahas mengenai studi komparatif antara ritual kematian khususnya ritual pembakaran mayat antara Agama Budha dan Hindu.
II.          RITUAL PEMBAKARAN MAYAT DALAM AGAMA BUDHA DAN HINDU
Dalam Agama Budha saat ada orang yang mati terdapat ritual pembakaran mayat (kremasi).  Orang yang sudah mati dimandikan. Saat memandikan, jenazah ditutup dengan selimut mantra (wan seng pei), setelah lewat 12 jam, selimut dibuka untuk mengganti pakaian dan membersihkan tubuh jenazah lalu ditutup selimut mantra lagi. Saat pembakarannya (kremasi), selimut dibuka dan dilipat. Setelah dibakar dan abunya dimasukkan kedalam tempayan, penaburan pasir dan peletakan kertas mantra, setelah itu tempayan abu jenazah dibungkus dengan selimut mantra. [2]
Dalam Agama Hindu, jika ada orang yang mati juga terdapat ritual pembakaran mayat. Disini penulis menspesifikkan pembahasan pada pembakaran mayat dalam Agama Hindu orang Bali yang dikenal dengan istilah “Ngaben”. Pembakaran mayat bagi orang Hindu Bali dilakukan setelah jenazahnya dikubur atau disimpan beberapa hari untuk menunggu hari baik. Biasanya mayat pendeta dari golongan Brahmana tidak boleh dikubur, melainkan harus disegerakan pembakarannya. Dalam ritual kematian orang Bali, seorang yang meninggal terlebih dahulu disucikan dengan tanah (dikubur), lalu dibakar.[3] Pada hari pembakaran diadakan sedekah, prabelina, mayat dimasukkan lalu diusung dengan iring-iringan. Setelah pembakaran pada hari itu juga atau sehari kemudian diadakan sedekah ngarim, para kerabat mengumpulkan abu lalu bersama-sama bersembahyang. Abu dimasukkan dalam dagan (kelapa muda) kelapa gading lalu dibawa ke laut ayau sungai dengan peralatan dimasukkan kedalam air. Selang tiga hari diadakan sedekah mapegat, maksudnya menyucikan tanah keluarga yang sial habis membakar mayat. Setelah selesai, lalu sedekah nyakah, mukur dan ngluwer semuanya untuk bersuci.[4]
III.          ANALISIS PERBANDINGAN
1.    Persamaannya
Antara Agama Budha dan Hindu sama-sama terdapat ritual untuk orang yang meninggal yaitu upacara pembakaran mayat. Dalam agama Budha dan Hindu sama-sama terdapat kepercayaan bahwa orang yang meninggal itu roh atau jiwanya kembali ketempat asalnya, Budha kembali menyatu dengan Tuhan sedangkan Hindu kembali kepada Dewa-dewanya. Dalam agama Budha dan Hindu juga terdapat  kepercayaan bahwa setelah meninggal, orang itu akan mengalami reinkarnasi (terlahir kembali).
2.    Perbedaannya
Ø Dari aspek Fenomenologinya
Menurut ajaran Budha, setelah dikremasi (dibakar) jiwa itu kembali kepada Tuhan dengan kata lain bersatu kembali dengan zat Tuhan. Ada kepercayaan bahwa selimut pembungkus mayat (wan seng pei) tidak boleh dibakar, jika membakar akan menghasilkan karma buruk. Kecuali bila terkena darah atau keadaannya sangat memprihatinkan, maka boleh dibakar dengan hati penuh hormat. Tulang mayat yang menjadi hitam setelah perabuan menunjukkan bahwa almarhum telah memperbuat karma buruk semasa hidup.[5] Dalam ajaran Budha terdapat istilah reinkarnasi, yaitu lahir kembali dalam tubuh makhluk lain sampai beberapa kali, hingga menjadi orang yang sempurna baik.
Sedangkan menurut kepercayaan Agama Hindu, Penguburan jenazah dimaksudkan untuk mensucikan mayatnya dengan tanah. Pembakarannya dimaksudkan untuk memberi pertolongan mayat dengan api (mensucikannya), dan melempar abunya kelaut dimaksudkan untuk menghilangkan penyakit menular dari mayat itu.[6] Untuk upacara pembakarannya, didepan rumah orang yang meninggal dibuat panggung tempat mengusung mayat ke pembakaran. Panggung bagi golongan triwangsa dinamakan “bade” dengan bertingkat tiga atau sebelas, sedangkan bagi golongan sudra bernama “wadak” yang hanya beratap satu. Selain itu juga dibuat petulangan berupa patug “pembersihan”. Di dalam Panca Yadnya, upacara pembakaran mayat termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal ketiganya itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya dan akan mengalami reinkarnasi. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Ø Dari aspek historisnya
Pelaksanaan ritual pembakaran mayat (kremasi) dalam Agama Budha didasarkan pada sejarah kematian penyiar Agama Budha, yakni Sidarta Gautama.  Ia  mati setelah 40 tahun menyiarkan ajarannya (Budha) yaitu saat usianya 83 pada tahun 483 SM di suatu tempat yang bernama Kusinara. Saat ia mati, jenazahnya dibakar. Saat itu, terjadi gempa bumi seakan alam ikut berduka. Ketika pembakaran, yang hangus hanya pembungkus dan dagingnya, sedangkan tulangnya utuh.[7] 
Sedangkan dalam Agama Hindu, pembakaran mayat didasarkan pada sejarah dalam kisah Ramayana dan Mahabarata. Dalam kisah Ramayana, saat rama menang melawan Raja Rahwana yang menculik Shinta (istri Rama), Shinta diuji kesuciannya dengan jalan dibakar. Terbukti setelah dibakar, tubuh Shinta tidak terbakar. Juga dikisahkan dalam kisah Mahabarata, para Kurawa kalah dan gugur dalam medan pertempuran melawan Pandawa. Dan mayat para pahlawan yang gugur itu dibakar.[8]
Ø Dari aspek sosiologis
Dalam Agama Budha, setelah meninggal orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang tuli dapat mendengar, badannyapun bebas. Jika pada waktu itu ada sanak kaluarganya yang mangadakan upacara kematian dan memanggil namanya, maka dia akan mendekati jenazah dan menjadi sadar bahwa dia telah tiada. Jika pada saat kematian keluarga almarhum mengadakan upacara kematian dengan menyajikan sajian hasil pembunuhan hewan misalnya babi, ayam, dan sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru semakin menambah penderitaan orang yang meninggal.
Dalam Agama Hindu, Upacara ngaben ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya.
IV.          KESIMPULAN
Dari studi komparatif ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap agama mempunyai ritual masing-masing, seperti ritual pembakaran mayat pada agama Budha dan Hindu. Dan ritual pembakaran mayat itu mempunyai nilai dan makna tersendiri dilihat dari segi fenomenanya, historisnya, maupun sosiologisnya menurut Agama Budha dan Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Leahy, Louis. Misteri Kematian Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1998
Lik, Bhiksu Hui. Tata Cara Mengurus Orang Meninggal secara Budhis. Batam: Vihara Budhayana. t.th
Ali, Abdullah.  Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Nuansa Ilmu. 2007
Jirhanuddin. Perbandingan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Mansur, Sufa’at.  Agama-agama Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011
Rifai, Moh. Perbandingan Agama. Semarang: Wicaksana. 1983




                [1] Louis Leahy, Misteri Kematian Suatu Pendekatan Filosofis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 126
                [2] Bhiksu Hui Lik, Tata Cara Mengurus Orang Meninggal secara Budhis, (Batam: Vihara Budhayana, t.th), hlm. 7-8
                [3] Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Nuansa Ilmu, 2007), hlm. 177-178
                [4] Moh. Rifai, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1983), hlm. 129
                [5] Bhiksu Hui Lik, Tata Cara Mengurus Orang Meninggal secara Budhis,…hlm. 15
                [6] Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama,…hlm. 178
                [7] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 90
                [8] Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 26-28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar