MENUJU
FIQIH SIYASAH YANG MENG-INDONESIA
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu
: : H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., M.SI.
Disusun Oleh:
Ummu Hanifah
113111022
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
MENUJU
FIQIH SIYASAH YANG MENG-INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Umat islam di
bawah naungan syariat pernah memimpin paradaban baik peradaban ilmu, ekonomi,
budaya, social, dan pertahanan keamanan. Hal ini bisa terjadi karena syariat
islam diturunkan Allah SWT sebagai pembawa misi rahmatan lil ‘alamin.
Secara umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan
sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal
dengan maqashid syariahh.
Dalam sistem
hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum
adat, hukum islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba
untuk menjadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum. Sesungguhnya
UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan
ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi Negara adalah
melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan
ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat
beragama. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai ketatanegaraan Islam
dalam konteks hukum di Indonesia atau Fiqh Siyasah yang meng-Indonesia.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana karakteristik fiqih
siyasah ?
B. Hukum Islam atau tradisi Arab?
C. Bagaimana wilayah kajian fiqih
siyasah dalam konteks ke-Indonesiaan ?
D. Bagaimana menerjemahkan fiqih secara
Indonesianis dengan komparasi historis ?
III.
PEMBAHASAN
- Karakteristik fiqih siyasah
Fiqh
siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang
seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada
khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang
kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dan menghidarkannya dari berbagai kemudharatan yang
mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]
Tujuan
negara Islam yang dapat dibentuk berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah telah
diberikan Tuhan dalam QS. Al-Hadid: 25
Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa misi para Rasul adalah menciptakan kondisi
yang didalamnya masa rakyat akan dapat dijamin keadilan sosialnya sejalan dengan
norma-norma yang telah dicanangkan Al-Qur’an yang memberikan perintah-perintah
yang jelas untuk mencapai kehidupan yang benar-benar disiplin.[2]
Karakteristik
utama dari ideologi Islam adalah bahwa ia tidak mengakui adanya pertentangan
maupun pemisahan yang berarti antara kehidupan dunia dan akhirat. Ia tidak
membatasi dirinya sendiri dengan hanya sekedar menyucikan jiwa dan moral.
Wilayahnya memanjang sampai seluruh sektor kehidupan.[3]
Al-Qur’an tidak tertarik pada teori khas
tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama Al-Qur’an
ialah agar masyarakat ditegakkan atas dasar keadilan dan moralitas. Maka model
dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah, ia
senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi dan perbaikan menurut kebutuhan
waktu dan umat.[4]
Tujuan
utama dari fiqh siyasah menurut Abdul Wahab Khalaf adalah dapat memahami
bagaimana menciptakan sebuah sistem pengaturan negara yang Islami dan dapat
menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya sebuah sistem politik yang adil
guna merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia disegala zaman dan disetiap
negara.
Dengan
demikian, ilmu fiqh siyasah menempatkan hasil temuan manusia dalam bidang hukum
pada kedudukan yang tinggi dan sangat bernilai. Setiap peraturan yang secara
resmi ditetapkan oleh negara dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib
dipatuhi sepenuh hati. Kewajiban ini terdapat dalam firman Allah QS. An-Nisa:
59 berikut;[5]
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
- Hukum Islam atau tradisi Arab
Fazlur
Rahman mengemukakan beberapa teori mengenai kenyataan historis yang melatar
belakangi kelahiran islam di belahan Timur Tengah (Arab). Meskipun harus
dipahami kenyataan historis tersebut, tidak berarti sebagai kausalitas terhadap
turunnya wahyu. Namun demikian, pemahaman terhadap kenyataan itu akan sangat
membantu memahami sejauh mana eksistensi Hukum Islam memainkan fungsinya
sebagai blue-print atau cetak biru dari Tuhan untuk merekayasa
sosial masyarakat, bukan sebaliknya sebagai formulasi hukum hasil rekayasa
sosial, karena jika yang terakhir yang terjadi, maka hukum adalah semata-mata
produk sejarah oleh suatu komunitas.
Secara
normatif, Hukum Islam (syari’ah) diturunkan dalam periode awal
diturunkannya adalah menjawab tuntutan sejarah. Asal usul monoteisme Al-Qur’an
adalah dari kehidupan padang pasir Arab. Ayat-ayatnya banyak diturunkan
disertai dengan suatu peristiwa yang disebut dengan asbabun nuzul. Ini
menggambarkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap salah satunya dalam
rangka merespon kenyataan sejarah yang terjadi dalam masyarakat saat itu.
Praktek
demikian berakhir ketika wahyu terakhir diturunkan, dan Rasulullah SAW sebagai
referensi para sahabat telah wafat. Banyak peristiwa hukum muncul sehubungan
dengan perkembangan waktu dan bertambahnya problema umat Islam, akibat dari
persentuhan budaya lokal yang muncul akibat perluasan wilayah kekuasaan Islam
akibat ekspansi dakwah dan politik. Akibat dari problema ini muncul kebutuhan
yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, yaitu inovasi dan solusi hukum yang dikenal
dengan Ijtihad. Kenyataan ini kemudian bergulir tanpa henti hingga
terbentuk berbagai mazhab.
Dari
sini kemudian terbentuk dua kutub besar pemahaman, apakah Hukum Islam sebagai cetak
biru Tuhan atau sebagai hasil rekayasa sosial ketika mereka dihadapkan pada
problema baru yang muncul sehingga ada yang disebut dengan ahl al-hadits
(pemahaman tekstual) dan ahl al-ra’yu (mengedepankan pemahaman
kontekstual). Dengan kata lain, hukum tidak hanya semata-mata dilihat dari
hasil atau produk perjanjian sebuah komunitas, tetapi tolak ukur syar’i menjadi
amat penting ditempatkan sebagai paradigma pembinaan hukum Islam. [6]
Misalnya
bahwa hukum potong tangan terhadap pencuri telah diberlakukan sebelum Islam
disemenanjung Arabia. Pada saat itu penduduknya nomaden, sehingga tidak mungkin
saat itu menghukum seorang pencuri dengan hukuman penjara, karena penjara saat
itu tidak ada, dinding bangunan tidak ada, tidak ada kekuasaan yang menjaga,
dll. Maka jalan satu-satunya adalah hukuman badan. Tujuannya selain agar ia
jera, juga agar dikenal orang dan berhati-hati padanya. Berbeda dengan pola
tatanan masyarakat sekarang dimana fasilitas negara sudah tersedia secara
memadai, maka hukuman potong tangan semestinya tidak menjadi satu-satunya
alternatif hukuman bagi pencuri. Hukum potong tangan adalah pertimbangan yang
menurut al-jabiri dapat dijustifikasi dan rasional dalam kondisi tersebut. Hal
ini karena ayat yang berbicara tentang hukum ini ayat yang masih mujmal, baik
dilihat dari ukuran nisabnya maupun dari pemahaman ukuran tangan yang harus
dipotong. [7]
Dalam konteks ijtihad tersebut,
perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini
sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin.
Dengan memahami karakter dasar Islam, diharapkan satu sama lain tidak mudah
mengkafirkan atau menuduh bid’ah, sesat dan lain-lain, sehingga ukhuwah
Islamiyah tetap dapat terpelihara walaupun terdapat perbedaan cara pandang
terhadap hal-hal yang furu’iyyah, bukan ushuliyyah, karena sumber utamanya
tetap sama yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Setiap wilayah yang dihuni umat Islam
dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda karena faktor sejarah,
sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda yang melingkupi para mujtahid.
Fiqh dalam penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Hal ini dimaksudkan
agar prinsip maslahat tetap terpenuhi dan terjamin. Sebab fiqh adalah produk
zamannya.
Hukum
Islam yang dibangun tetap memiliki akseptabilitas dan fleksibilitas yang tinggi
terhadap tuntutan ruang dan waktu, yang membawa perubahan sosial-budaya maupun
sosial-politik.[8] Oleh
karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus
ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Sebab
kalau tidak, Islam melalui hukum-hukumnya yang kaku akan jauh dari realitas
kehidupan saat sekarang dan pada gilirannya akan ditinggalkan.[9]
Fiqh yang dijadikan rujukan
masyarakat Indonesia adalah fiqh yang telah tertuang dalam pemikiran madzhab.
Habsyi Ash-Shiddiqi mengatakan bahwa ada bagian-bagian fiqh kaum muslimin
Indonesia yang didasarkan pada ‘urf Timur Tengah yang tidak sesuai
dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang melembaga dalam hukum
adat sehingga dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia.[10]
Islam Indonesia dimaknai sebagai Islam yang berbaju kebudayaan Indonesia, Islam
yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah
kebudayaan lokal, dan sejenisnya. Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab,
bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula
duplikasi Islam Eropa.
Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di
Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter
Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia,
tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari
bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia
dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan
berbagai tradisi yang telah ada dan eksis.[11]
- Wilayah kajian Fiqih Siyasah
dalam konteks Keindonesiaan
Jika ingin menyebut dengan sebutan
Negara Muslim, maka yang dimaksud ialah Indonesia yaitu negara yang berpenduduk
terbanyak beragama Islam. Indonesia adalah suatu negara nasional yang memiliki
dasar dan falsafah pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945. Dilihat dari sudut pandang Islam, maka sila pertama dalam pancasila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan
inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran Islam diberikan
toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk-pemeluk
agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Negara
Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Prinsip
yang terkandung dalam sila pertama itu ialah adanya suatu pengakuan bangsa
Indonesia terhadap wujud Tuhan.[12]
Objek kajian fiqh siyasah meliputi
aspek pengaturan hubungan antar warga Negara, hubungan antara warga Negara
dengan lembaga Negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu Negara maupun
hubungan yang bersifat ekstern antar Negara, dalam berbagai bidang kehidupan.[13]
Setiap kali membicarakan Hukum Islam
di Indonesia, konteks dan ruang lingkupnya seakan terbatas pada masalah perkawinan,
perceraian, kewarisan, dan perwakafan atau al-ahwal al-syakhsiyah. Ini
berarti terjadi simplifikasi terhadap substansi Hukum Islam.[14]
Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara
formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional
Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap
dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam. Transformasi hukum Islam
kedalam produk administrasi pemerintahan tampak dalam administrasi perkawinan,
perwakafan tanah milik (registrasi dan sertifikasi), pengelolaan zakat (mal dan
fitrah), infaq dan sadaqah, serta sertifikasi halal bagi produk makanan dan
minuman. Demikian juga penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab
pemerintah.[15]
Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini
pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin
kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh
syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara
hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum
pertanahan.
Indonesia,
meskipun termasuk negara muslim yang lamban dalam melakukan pembaharuan
hukumnya, kelahiran Undang-undang Perkawinan (UU No.1 tahun 1974), Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik, dan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Inpres No.1 tahun 1991), merupakan dinamika
pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang harus disyukuri.[16]
- Menerjemahkan Fiqih secara
Indonesianis dengan komparasi historis
Memang kesatuan politik sejak berakhirnya
Khulafaur Rasyidin, tinggal merupakan tata pemerintahan ideal yang dikenal
Islam. Walaupun memang tidak ada ajaran Islam yang mengharuskan adanya kesatuan
politik yang mencakup seluruh umat Islam dalam tata pemerintahan Islam. Adanya
negara Islam merupakan suatu kebutuhan praktis dalam membantu berlakunya
syari’at Islam dalam kehidupan. Konsep ideal yang menginginkan pemerintahan
khilafat yang universal di dunia Islam bukanlah suatu kewajiban, sungguhpun
dasar dan tujuan seluruh umat Islam adalah Al-Qur’an dan berlakunya syari’at.[17]
Walau demikian, Soekarno mengakui bahwa
apa yang dipraktekkan Nabi SAW dan Khulafaur Rasyiddin adalah suatu negara
dimana agama dan negara bersatu dan itu merupakan gagasan ideal. Bahkan masa
pemerintahan Islam itu menurut Soekarno adalah masyarakat yang dinamis dan
mengandung potensi untuk maju dengan pesat. Pendapatnya tentang pemisahan agama
dan negara didasarkan pada pengetahuannya tentang dunia Islam dengan
gerakan-gerakan politiknya pada dekade abad ke-19 dan 20. Ia banyak terpengaruh
oleh gerakan politik Islam diTurki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk,
bahkan ia juga dianggap sebagai orang yang mempropagandakan ide-idenya di
Indonesia.[18]
Negara Indonesia adalah negara
pancasila, bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler. Masyarakat
pancasila adalah yang sosialis religius. Agama mempunyai kedudukan terhormat
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.[19]
Dalam alam Indonesia merdeka, ketika negara didirikan atas dasar suatu kesatuan
kebangsaan, kemudian dikenal politik hukum nasional, hukum Islam muncul sebagai
suatu gagasan untuk menggantikan hukum kolonial yang dipandang tidak cocok
dengan alam kemerdekaan dan kebudayaan bangsa. Hal itu terlihat dengan jelas dalam
perjalanan sejarah masyarakat Indonesia, baik pada masa kesultanan Islam dan
masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan hingga kini. Asas-asas hukum Islam
dapat ditransformasikan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan tanpa
menggunakan “label” hukum Islam, tetapi diserap kedalam hukum nasional.[20]
Hukum yang dibuat di Indonesia yang
berdasarkan pancasila, harus memerhatikan keadilan masyarakat Indonesia,
terutama umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Apabila tidak, maka hukum itu
akan ditolak oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan. Oleh karena itu
negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi
umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan
karakter suatu bangsa tercermin dari kebudayaan dan hukumnya.[21]
Pembaharuan
pemikiran Hukum Islam di Indonesia, menunjukkan tren neo-modernisme. Ini dapat
direpresentasikan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi produk
legislasi di Indonesia. Ciri-cirinya adalah:
1. Mempertimbangkan seluruh tradisi
islam, baik yang bersifat tradisional maupun modern
2. Pembedaan antara Islam, normatif dan
historis, atau Islam konseptual dan islam aktual
3. Digunakan metodologi ilmiah dalam
upaya reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah intelektualisme islam
klasik dan akar-akar spiritualisme Islam
4. Penafsiran Al-Qur’an dan as-Sunnah
secara historis sosiologis dan kronologis
5. Ada pembedaan antara yang ideal
moral dengan legal spesifik, dengan mengedepankan ideal moral
6. Upaya mensistematisasi metode
penafsiran modernisme klasik
7. Memasukkan masalah kekinian ke dalam
pertimbangan reinterpretasi Al-Qur’an.[22]
Menurut pandangan Ichtijanto SA,
hukum agama merupakan unsur mutlak hukum nasional. Tertib hukum masyarakat
Indonesia membutuhkan adanya peraturan perundang-undangan yang sesuai dan
bersumber dari ajaran-ajaran agama. Sumber tertib hukum negara RI ialah
pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum serta cita moral yang meliputi
suasana kejiwaan dan watak bangsa Indonesia yang religius. Dalam implementasi
hukum Islam di Indonesia, patut diperhatikan tawaran paradigma Kuntowijoyo,
yakni paradigma obyektivikasi Islam yaitu tetap memposisikan Al-Qur’an sebagai
sumber hukum.
Obyektivikasi ini akan menjadikan
hukum Al-Qur’an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas
persetujuan bersama warga negara. Jadi, tidak secara langsung dan otomatis
seluruh norma hukum islam menjadi hukum negara, tetapi ia harus melalui
obyektivikasi. Obyektivikasi hukum Islam ini basis-teoritisnya dapat ditemukan
pada teori maslahat. Munawir Sadjali menyatakan bahwa maslahat dan keadilan
merupakan tujuan syari’at Islam, dan keadilan merupakan dasar maslahat.
Terkait dengan penegakan syari’at
islam di Indonesia, Topo Santoso berpendapat bahwa terdapat 4 pandangan dalam
hal ini:
1. Mereka
yang menginginkan syari’at Islam ditegakkan seutuhnya dan tidak dicampur dengan
hukum-hukum lain yang sudah ada
2. Mereka
yang meyakini kelayakan syari’at islam yang nota bene setara dengan hukum barat
dan hukum adat menjadi sumber hukum pidana Indonesia
3. Mereka
yang meyakini bahwa syari’at Islam itu harus ditegakkan seutuhnya sehingga
harus ada pemerintahan Islam
4. Mereka
yang berpendapat bahwa yang paling penting adalah nilai-nilai syari’at Islam
dapat ditegakkan.
Menurut Topo Santoso, terdapat
beberapa alternatif pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, yaitu:
1. Perubahan
konstitusi
2. Perubahan
sistem hukum nasional menjadi sistem hukum Islam
3. Islamisasi
hukum Indonesia
4. Perluasan
kompetensi peradilan agama
5. Transformasi
norma/konsep hukum Islam kedalam hukum nasional
6. Optimalisasi
UU pemerintahan daerah
Syari’at Islam sebagai hukum
berasal-usul dari wahyu ilahi akan memberi jiwa kepada hukum nasional, yang
dihormati oleh warga negara yang meyakini kebenarannya secara
doktriner-keagamaan. Dalam konteks
demikian, aplikasi teori maslahat merupakan pilihan strategis dalam
kontekstualisasi sekaligus objektifikasi hukum Islam dalam tatanan hukum nasional
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.[23]
Pengembangan hukum Islam melalui pranata politik
berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengalokasikan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah Islam melalui akulturasi politik didalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Akulturasi politik itu dilakukan melalui infra dan
supra struktur politik. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan
kehidupan politik melalui keputusan kekuasaan negara. Nilai-nilai dan kaidah
Islam terinternalisasi kedalam GBHN dan peraturan perundangan. Peradilan agama
merupakan salah satu perwujudan pranata politik Islam dalam struktur kekuasaan
negara Republik Indonesia.[24]
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik
utama dari ideologi Islam adalah bahwa ia tidak mengakui adanya pertentangan
maupun pemisahan yang berarti antara kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan utama
dari fiqh siyasah adalah memahami bagaimana menciptakan sebuah sistem
pengaturan negara yang Islami dan sebuah sistem politik yang adil guna
merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia disegala zaman dan disetiap
negara.
Islam
lahir di belahan Timur Tengah (Arab). Meskipun harus dipahami kenyataan
historis tersebut, tidak berarti sebagai kausalitas terhadap turunnya wahyu.
Hukum Islam memiliki akseptabilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap
tuntutan ruang dan waktu, yang membawa perubahan sosial-budaya maupun
sosial-politik. Habsyi Ash-Shiddiqi mengatakan bahwa ada
bagian-bagian fiqh kaum muslimin Indonesia yang didasarkan pada ‘urf Timur
Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang
melembaga dalam hukum adat sehingga dianggap kurang sesuai dengan kepribadian
Indonesia. Islam
Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan
plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Setiap
kali membicarakan Hukum Islam di Indonesia, konteks dan ruang lingkupnya seakan
terbatas pada masalah perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan atau al-ahwal
al-syakhsiyah. Ini berarti terjadi simplifikasi terhadap substansi Hukum
Islam.
Negara Indonesia adalah negara
pancasila, bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler. Masyarakat
pancasila adalah yang sosialis religius. Agama mempunyai kedudukan terhormat
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Dalam implementasi
hukum Islam di Indonesia, patut diperhatikan tawaran paradigma Kuntowijoyo,
yakni paradigma obyektivikasi Islam yaitu tetap memposisikan Al-Qur’an sebagai
sumber hukum. Aplikasi teori maslahat merupakan pilihan strategis dalam
kontekstualisasi sekaligus objektifikasi hukum Islam dalam tatanan hukum
nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peradilan agama
merupakan salah satu perwujudan pranata politik Islam dalam struktur kekuasaan
negara Republik Indonesia.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang saya buat.
Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Saya menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran
sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil
hikmahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi.
2010. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
Azhary,
Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang
Djazuli.
2010. Ilmu Fiqih. Jakarta: Kencana
Maarif,
Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Maududi,
Abul A’la Al-. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Bandung:
Mizan
Muhaimin,
Yahya A. 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta: UII
Press
Ridwan.
2008. Limitasi Hukum Pidana Islam. Semarang: Walisongo Press
Rofiq,
Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam. Yogyakarta: Gama Media
Syarif,
Mujar Ibnu dan Khamami Zada. 2007. Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta:
Erlangga
Taufiq,
Ahmad Azhar Basyir, dkk. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat
Indonesia. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
Usman,
Suparman. 2001. Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia). Jakarta: Gaya Media Pratama
Wahid,
Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara (Kritik Atas Politik Hukum
Islam di Indonesia). Yogyakarta: Lkis Yogyakarta
Yatim,
Badri. 1999. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007),
hlm. 11
[2] Abul A’la Al-Maududi, Hukum
dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 165
[3] Abul A’la Al-Maududi, Hukum
dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ... hlm. 176
[4] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 18
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam,...hlm. 13
[6] Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 33-39
[7] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana
Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 87-88
[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam,...hlm. 42
[9] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana
Islam,... hlm. 90
[10] Marzuki Wahid, dan Rumadi, Fiqh
Madzhab Negara (Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta:
Lkis Yogyakarta, 2001), hlm. 128-129
[11] Yahya A. Muhaimin, Politik
Pembangunan Hukum Nasional. (Yogyakarta: UII Press, 1992), hlm. 93
[12] Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 145-146
[13] Djazuli, Ilmu Fiqih,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 54
[14] Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam,...hlm. 53
[15] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk,
Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1998), hlm. 139
[16] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum
Islam,...hlm. 102
[17] Badri Yatim, Soekarno, Islam
dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 134
[18] Badri Yatim, Soekarno, Islam
dan Nasionalisme,... hlm. 139-140
[19] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk,
Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 26
[20] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk,
Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 134-138
[21] Suparman Usman, Hukum Islam
(Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia), (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 125-126
[22] Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam,...hlm. 173
[23] Asmawi, Teori Maslahat dan
Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 90-94
[24] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk,
Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 123-124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar