Sabtu, 29 Oktober 2016

Fiqih Siyasah Indonesia

MENUJU FIQIH SIYASAH YANG MENG-INDONESIA


MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : : H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., M.SI.


Disusun Oleh:
Ummu Hanifah
113111022



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


MENUJU FIQIH SIYASAH YANG MENG-INDONESIA
I.          PENDAHULUAN
Umat islam di bawah naungan syariat pernah memimpin paradaban baik peradaban ilmu, ekonomi, budaya, social, dan pertahanan keamanan. Hal ini bisa terjadi karena syariat islam diturunkan Allah SWT sebagai pembawa misi rahmatan lil ‘alamin. Secara umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal dengan  maqashid syariahh.
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk menjadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum. Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi Negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai ketatanegaraan Islam dalam konteks hukum di Indonesia atau Fiqh Siyasah yang meng-Indonesia.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana karakteristik fiqih siyasah ?
B.   Hukum Islam atau tradisi Arab?
C.  Bagaimana wilayah kajian fiqih siyasah dalam konteks ke-Indonesiaan ?
D.  Bagaimana menerjemahkan fiqih secara Indonesianis dengan komparasi historis ?
III.          PEMBAHASAN
  1. Karakteristik fiqih siyasah
Fiqh siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghidarkannya dari berbagai kemudharatan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]
Tujuan negara Islam yang dapat dibentuk berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah telah diberikan Tuhan dalam QS. Al-Hadid: 25

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa misi para Rasul adalah menciptakan kondisi yang didalamnya masa rakyat akan dapat dijamin keadilan sosialnya sejalan dengan norma-norma yang telah dicanangkan Al-Qur’an yang memberikan perintah-perintah yang jelas untuk mencapai kehidupan yang benar-benar disiplin.[2]
Karakteristik utama dari ideologi Islam adalah bahwa ia tidak mengakui adanya pertentangan maupun pemisahan yang berarti antara kehidupan dunia dan akhirat. Ia tidak membatasi dirinya sendiri dengan hanya sekedar menyucikan jiwa dan moral. Wilayahnya memanjang sampai seluruh sektor kehidupan.[3]  Al-Qur’an tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama Al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas dasar keadilan dan moralitas. Maka model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah, ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan umat.[4]
Tujuan utama dari fiqh siyasah menurut Abdul Wahab Khalaf adalah dapat memahami bagaimana menciptakan sebuah sistem pengaturan negara yang Islami dan dapat menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya sebuah sistem politik yang adil guna merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia disegala zaman dan disetiap negara.
Dengan demikian, ilmu fiqh siyasah menempatkan hasil temuan manusia dalam bidang hukum pada kedudukan yang tinggi dan sangat bernilai. Setiap peraturan yang secara resmi ditetapkan oleh negara dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib dipatuhi sepenuh hati. Kewajiban ini terdapat dalam firman Allah QS. An-Nisa: 59 berikut;[5]
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
  1. Hukum Islam atau tradisi Arab
Fazlur Rahman mengemukakan beberapa teori mengenai kenyataan historis yang melatar belakangi kelahiran islam di belahan Timur Tengah (Arab). Meskipun harus dipahami kenyataan historis tersebut, tidak berarti sebagai kausalitas terhadap turunnya wahyu. Namun demikian, pemahaman terhadap kenyataan itu akan sangat membantu memahami sejauh mana eksistensi Hukum Islam memainkan fungsinya sebagai blue-print atau cetak biru dari Tuhan untuk merekayasa sosial masyarakat, bukan sebaliknya sebagai formulasi hukum hasil rekayasa sosial, karena jika yang terakhir yang terjadi, maka hukum adalah semata-mata produk sejarah oleh suatu komunitas.
Secara normatif, Hukum Islam (syari’ah) diturunkan dalam periode awal diturunkannya adalah menjawab tuntutan sejarah. Asal usul monoteisme Al-Qur’an adalah dari kehidupan padang pasir Arab. Ayat-ayatnya banyak diturunkan disertai dengan suatu peristiwa yang disebut dengan asbabun nuzul. Ini menggambarkan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap salah satunya dalam rangka merespon kenyataan sejarah yang terjadi dalam masyarakat saat itu.
Praktek demikian berakhir ketika wahyu terakhir diturunkan, dan Rasulullah SAW sebagai referensi para sahabat telah wafat. Banyak peristiwa hukum muncul sehubungan dengan perkembangan waktu dan bertambahnya problema umat Islam, akibat dari persentuhan budaya lokal yang muncul akibat perluasan wilayah kekuasaan Islam akibat ekspansi dakwah dan politik. Akibat dari problema ini muncul kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, yaitu inovasi dan solusi hukum yang dikenal dengan Ijtihad. Kenyataan ini kemudian bergulir tanpa henti hingga terbentuk berbagai mazhab.
Dari sini kemudian terbentuk dua kutub besar pemahaman, apakah Hukum Islam sebagai cetak biru Tuhan atau sebagai hasil rekayasa sosial ketika mereka dihadapkan pada problema baru yang muncul sehingga ada yang disebut dengan ahl al-hadits (pemahaman tekstual) dan ahl al-ra’yu (mengedepankan pemahaman kontekstual). Dengan kata lain, hukum tidak hanya semata-mata dilihat dari hasil atau produk perjanjian sebuah komunitas, tetapi tolak ukur syar’i menjadi amat penting ditempatkan sebagai paradigma pembinaan hukum Islam. [6]
Misalnya bahwa hukum potong tangan terhadap pencuri telah diberlakukan sebelum Islam disemenanjung Arabia. Pada saat itu penduduknya nomaden, sehingga tidak mungkin saat itu menghukum seorang pencuri dengan hukuman penjara, karena penjara saat itu tidak ada, dinding bangunan tidak ada, tidak ada kekuasaan yang menjaga, dll. Maka jalan satu-satunya adalah hukuman badan. Tujuannya selain agar ia jera, juga agar dikenal orang dan berhati-hati padanya. Berbeda dengan pola tatanan masyarakat sekarang dimana fasilitas negara sudah tersedia secara memadai, maka hukuman potong tangan semestinya tidak menjadi satu-satunya alternatif hukuman bagi pencuri. Hukum potong tangan adalah pertimbangan yang menurut al-jabiri dapat dijustifikasi dan rasional dalam kondisi tersebut. Hal ini karena ayat yang berbicara tentang hukum ini ayat yang masih mujmal, baik dilihat dari ukuran nisabnya maupun dari pemahaman ukuran tangan yang harus dipotong. [7]
Dalam konteks ijtihad tersebut, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Dengan memahami karakter dasar Islam, diharapkan satu sama lain tidak mudah mengkafirkan atau menuduh bid’ah, sesat dan lain-lain, sehingga ukhuwah Islamiyah tetap dapat terpelihara walaupun terdapat perbedaan cara pandang terhadap hal-hal yang furu’iyyah, bukan ushuliyyah, karena sumber utamanya tetap sama yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda karena faktor sejarah, sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda yang melingkupi para mujtahid. Fiqh dalam penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Hal ini dimaksudkan agar prinsip maslahat tetap terpenuhi dan terjamin. Sebab fiqh adalah produk zamannya.
Hukum Islam yang dibangun tetap memiliki akseptabilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap tuntutan ruang dan waktu, yang membawa perubahan sosial-budaya maupun sosial-politik.[8] Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Sebab kalau tidak, Islam melalui hukum-hukumnya yang kaku akan jauh dari realitas kehidupan saat sekarang dan pada gilirannya akan ditinggalkan.[9]
Fiqh yang dijadikan rujukan masyarakat Indonesia adalah fiqh yang telah tertuang dalam pemikiran madzhab. Habsyi Ash-Shiddiqi mengatakan bahwa ada bagian-bagian fiqh kaum muslimin Indonesia yang didasarkan pada ‘urf Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang melembaga dalam hukum adat sehingga dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia.[10] Islam Indonesia dimaknai sebagai Islam yang berbaju kebudayaan Indonesia, Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi yang telah ada dan eksis.[11]    
  1. Wilayah kajian Fiqih Siyasah dalam konteks Keindonesiaan
Jika ingin menyebut dengan sebutan Negara Muslim, maka yang dimaksud ialah Indonesia yaitu negara yang berpenduduk terbanyak beragama Islam. Indonesia adalah suatu negara nasional yang memiliki dasar dan falsafah pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dilihat dari sudut pandang Islam, maka sila pertama dalam pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk-pemeluk agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Prinsip yang terkandung dalam sila pertama itu ialah adanya suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan.[12]
Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antar warga Negara, hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu Negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar Negara, dalam berbagai bidang kehidupan.[13] Setiap kali membicarakan Hukum Islam di Indonesia, konteks dan ruang lingkupnya seakan terbatas pada masalah perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan atau al-ahwal al-syakhsiyah. Ini berarti terjadi simplifikasi terhadap substansi Hukum Islam.[14]
Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam. Transformasi hukum Islam kedalam produk administrasi pemerintahan tampak dalam administrasi perkawinan, perwakafan tanah milik (registrasi dan sertifikasi), pengelolaan zakat (mal dan fitrah), infaq dan sadaqah, serta sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman. Demikian juga penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab pemerintah.[15]
Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Indonesia, meskipun termasuk negara muslim yang lamban dalam melakukan pembaharuan hukumnya, kelahiran Undang-undang Perkawinan (UU No.1 tahun 1974), Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres No.1 tahun 1991), merupakan dinamika pembaharuan pemikiran Hukum Islam yang harus disyukuri.[16]
  1. Menerjemahkan Fiqih secara Indonesianis dengan komparasi historis
Memang kesatuan politik sejak berakhirnya Khulafaur Rasyidin, tinggal merupakan tata pemerintahan ideal yang dikenal Islam. Walaupun memang tidak ada ajaran Islam yang mengharuskan adanya kesatuan politik yang mencakup seluruh umat Islam dalam tata pemerintahan Islam. Adanya negara Islam merupakan suatu kebutuhan praktis dalam membantu berlakunya syari’at Islam dalam kehidupan. Konsep ideal yang menginginkan pemerintahan khilafat yang universal di dunia Islam bukanlah suatu kewajiban, sungguhpun dasar dan tujuan seluruh umat Islam adalah Al-Qur’an dan berlakunya syari’at.[17]
Walau demikian, Soekarno mengakui bahwa apa yang dipraktekkan Nabi SAW dan Khulafaur Rasyiddin adalah suatu negara dimana agama dan negara bersatu dan itu merupakan gagasan ideal. Bahkan masa pemerintahan Islam itu menurut Soekarno adalah masyarakat yang dinamis dan mengandung potensi untuk maju dengan pesat. Pendapatnya tentang pemisahan agama dan negara didasarkan pada pengetahuannya tentang dunia Islam dengan gerakan-gerakan politiknya pada dekade abad ke-19 dan 20. Ia banyak terpengaruh oleh gerakan politik Islam diTurki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk, bahkan ia juga dianggap sebagai orang yang mempropagandakan ide-idenya di Indonesia.[18]
Negara Indonesia adalah negara pancasila, bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler. Masyarakat pancasila adalah yang sosialis religius. Agama mempunyai kedudukan terhormat dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.[19] Dalam alam Indonesia merdeka, ketika negara didirikan atas dasar suatu kesatuan kebangsaan, kemudian dikenal politik hukum nasional, hukum Islam muncul sebagai suatu gagasan untuk menggantikan hukum kolonial yang dipandang tidak cocok dengan alam kemerdekaan dan kebudayaan bangsa. Hal itu terlihat dengan jelas dalam perjalanan sejarah masyarakat Indonesia, baik pada masa kesultanan Islam dan masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan hingga kini. Asas-asas hukum Islam dapat ditransformasikan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan tanpa menggunakan “label” hukum Islam, tetapi diserap kedalam hukum nasional.[20]
Hukum yang dibuat di Indonesia yang berdasarkan pancasila, harus memerhatikan keadilan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Apabila tidak, maka hukum itu akan ditolak oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dari kebudayaan dan hukumnya.[21] 
Pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, menunjukkan tren neo-modernisme. Ini dapat direpresentasikan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi produk legislasi di Indonesia. Ciri-cirinya adalah:
1.      Mempertimbangkan seluruh tradisi islam, baik yang bersifat tradisional maupun modern
2.      Pembedaan antara Islam, normatif dan historis, atau Islam konseptual dan islam aktual
3.      Digunakan metodologi ilmiah dalam upaya reformulasi Hukum Islam, berdasarkan khazanah intelektualisme islam klasik dan akar-akar spiritualisme Islam
4.      Penafsiran Al-Qur’an dan as-Sunnah secara historis sosiologis dan kronologis
5.      Ada pembedaan antara yang ideal moral dengan legal spesifik, dengan mengedepankan ideal moral
6.      Upaya mensistematisasi metode penafsiran modernisme klasik
7.      Memasukkan masalah kekinian ke dalam pertimbangan reinterpretasi Al-Qur’an.[22]
Menurut pandangan Ichtijanto SA, hukum agama merupakan unsur mutlak hukum nasional. Tertib hukum masyarakat Indonesia membutuhkan adanya peraturan perundang-undangan yang sesuai dan bersumber dari ajaran-ajaran agama. Sumber tertib hukum negara RI ialah pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum serta cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak bangsa Indonesia yang religius. Dalam implementasi hukum Islam di Indonesia, patut diperhatikan tawaran paradigma Kuntowijoyo, yakni paradigma obyektivikasi Islam yaitu tetap memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum.
Obyektivikasi ini akan menjadikan hukum Al-Qur’an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara. Jadi, tidak secara langsung dan otomatis seluruh norma hukum islam menjadi hukum negara, tetapi ia harus melalui obyektivikasi. Obyektivikasi hukum Islam ini basis-teoritisnya dapat ditemukan pada teori maslahat. Munawir Sadjali menyatakan bahwa maslahat dan keadilan merupakan tujuan syari’at Islam, dan keadilan merupakan dasar maslahat.
Terkait dengan penegakan syari’at islam di Indonesia, Topo Santoso berpendapat bahwa terdapat 4 pandangan dalam hal ini:
1.      Mereka yang menginginkan syari’at Islam ditegakkan seutuhnya dan tidak dicampur dengan hukum-hukum lain yang sudah ada
2.      Mereka yang meyakini kelayakan syari’at islam yang nota bene setara dengan hukum barat dan hukum adat menjadi sumber hukum pidana Indonesia
3.      Mereka yang meyakini bahwa syari’at Islam itu harus ditegakkan seutuhnya sehingga harus ada pemerintahan Islam
4.      Mereka yang berpendapat bahwa yang paling penting adalah nilai-nilai syari’at Islam dapat ditegakkan.
Menurut Topo Santoso, terdapat beberapa alternatif pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, yaitu:
1.      Perubahan konstitusi
2.      Perubahan sistem hukum nasional menjadi sistem hukum Islam
3.      Islamisasi hukum Indonesia
4.      Perluasan kompetensi peradilan agama
5.      Transformasi norma/konsep hukum Islam kedalam hukum nasional
6.      Optimalisasi UU pemerintahan daerah 
Syari’at Islam sebagai hukum berasal-usul dari wahyu ilahi akan memberi jiwa kepada hukum nasional, yang dihormati oleh warga negara yang meyakini kebenarannya secara doktriner-keagamaan.  Dalam konteks demikian, aplikasi teori maslahat merupakan pilihan strategis dalam kontekstualisasi sekaligus objektifikasi hukum Islam dalam tatanan hukum nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.[23]
Pengembangan hukum Islam melalui pranata politik berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengalokasikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam melalui akulturasi politik didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akulturasi politik itu dilakukan melalui infra dan supra struktur politik. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan kehidupan politik melalui keputusan kekuasaan negara. Nilai-nilai dan kaidah Islam terinternalisasi kedalam GBHN dan peraturan perundangan. Peradilan agama merupakan salah satu perwujudan pranata politik Islam dalam struktur kekuasaan negara Republik Indonesia.[24]
IV.          PENUTUP
A.     Kesimpulan
Karakteristik utama dari ideologi Islam adalah bahwa ia tidak mengakui adanya pertentangan maupun pemisahan yang berarti antara kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan utama dari fiqh siyasah adalah memahami bagaimana menciptakan sebuah sistem pengaturan negara yang Islami dan sebuah sistem politik yang adil guna merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia disegala zaman dan disetiap negara.
Islam lahir di belahan Timur Tengah (Arab). Meskipun harus dipahami kenyataan historis tersebut, tidak berarti sebagai kausalitas terhadap turunnya wahyu. Hukum Islam memiliki akseptabilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap tuntutan ruang dan waktu, yang membawa perubahan sosial-budaya maupun sosial-politik. Habsyi Ash-Shiddiqi mengatakan bahwa ada bagian-bagian fiqh kaum muslimin Indonesia yang didasarkan pada ‘urf Timur Tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang melembaga dalam hukum adat sehingga dianggap kurang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Islam Indonesia bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Setiap kali membicarakan Hukum Islam di Indonesia, konteks dan ruang lingkupnya seakan terbatas pada masalah perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan atau al-ahwal al-syakhsiyah. Ini berarti terjadi simplifikasi terhadap substansi Hukum Islam.
Negara Indonesia adalah negara pancasila, bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler. Masyarakat pancasila adalah yang sosialis religius. Agama mempunyai kedudukan terhormat dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Dalam implementasi hukum Islam di Indonesia, patut diperhatikan tawaran paradigma Kuntowijoyo, yakni paradigma obyektivikasi Islam yaitu tetap memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum. Aplikasi teori maslahat merupakan pilihan strategis dalam kontekstualisasi sekaligus objektifikasi hukum Islam dalam tatanan hukum nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peradilan agama merupakan salah satu perwujudan pranata politik Islam dalam struktur kekuasaan negara Republik Indonesia.
B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang saya buat. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2010. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
Azhary, Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang
Djazuli. 2010. Ilmu Fiqih. Jakarta: Kencana
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
Maududi, Abul A’la Al-. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan
Muhaimin, Yahya A. 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta: UII Press
Ridwan. 2008. Limitasi Hukum Pidana Islam. Semarang: Walisongo Press
Rofiq, Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam. Yogyakarta: Gama Media
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada. 2007. Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga
Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk. 1998. Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia). Jakarta: Gaya Media Pratama
Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara (Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia). Yogyakarta: Lkis Yogyakarta
Yatim, Badri. 1999. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu






[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 11
[2] Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 165
[3] Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, ... hlm. 176
[4] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 18
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam,...hlm. 13
[6] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 33-39
[7] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 87-88
[8] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam,...hlm. 42
[9] Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam,... hlm. 90
[10] Marzuki Wahid, dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2001), hlm. 128-129
[11] Yahya A. Muhaimin, Politik Pembangunan Hukum Nasional. (Yogyakarta: UII Press, 1992), hlm. 93
[12] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 145-146
[13] Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 54
[14] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam,...hlm. 53
[15] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 139
[16] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam,...hlm. 102
[17] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 134
[18] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme,... hlm. 139-140
[19] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 26
[20] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 134-138
[21] Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 125-126
[22] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam,...hlm. 173
[23] Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 90-94
[24] Taufiq, Ahmad Azhar Basyir, dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,...hlm. 123-124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar