MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah : Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen
pengampu : Ahmad Muthohar, M. Ag
Disusun Oleh :
Kelompok
5, PAI-6A
Shofa Kuni Silfiati (113111019)
Siti Fajaroh (113111020)
Subur Haryanto (113111021)
Ummu Hanifah (113111022)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PEMIKIRAN
MANHAJ AHL AL-TASAWUF
I.
PENDAHULUAN
Membicarakan sufi dan tasawuf berarti
membicarakan orang yang lebih mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa,
lebih mengutamakan perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan agar lebih
bisa untuk sampai kepada Sang Khalik sebagai tempat kembalinya. Tasawuf
menurut Ibrahim Basyuni adalah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur
untuk berjuang keras (mujahadah) agar bisa berhubungan dengan wujud
mutlak (Tuhan).[1]
Kaum sufi pada dasarmya adalah pendukung
dari ajaran Islam murni sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya. Oleh karena itu ajaran kaum sufi bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi SAW. Allah menjadi tema sentral pemikiran kaum sufi sehingga
melahirkan kerinduan para sufi kepada-Nya dan mendorongnya untuk mencari
ridhonya. Pemikiran yang seperti ini membuat para sufi bersifat lebih zuhud
terhadap kehidupan dunia. Sifat zuhud menurut mereka akan membawa mereka kepada
kebersihan hati yang akan membuahkan ma’rifat kepada Allah. Kezuhudan
mereka memberikan warna dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka
ibadah harus dapat dilaksanakan hingga sampai pada tujuannya yaitu kepada Allah
atau ibadah harus sampai dapat mengenal Allah.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa
golongan tasawuf memiliki ciri khas dalam pemikirannya, yaitu sifat
kesederhanaan dan zuhud terhadap kehidupan dunia.[2]
Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran manhaj tasawuf, mulai
dari tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi dan juga tarekat.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
pemikiran manhaj tasawuf akhlaqi?
B. Bagaimana
pemikiran manhaj tasawuf falsafi?
C. Bagaimana
perkembangan dan substansi pemikiran tarekat?
III.
PEMBAHASAN
A. Tasawuf Akhlaqi
Bila dilihat dari segi bentuk ajarannya,
pada perkembangannya yang mula-mula tasawuf merupakan hal yang bersifat
amaliah. Ajaran-ajaran tasawuf semata-mata menyangkut praktik atau amaliah
akhlakiah, seperti kesungguhan ibadah, zuhud dan lain sebagainya. Bentuk
ajaran tasawuf ini disebut dengan istilah tasawuf amali atau tasawuf akhlaki
yang identik dengan tasawuf Sunni.[3]
Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku. Tasawuf
akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian jiwa
melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara
ketat.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaki antara
lain:
1.
Melandaskan diri
pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan
Qur’ani dan Hadits sebagai kerangka pendekatannya.
2.
Kesinambungan
antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek
batiniahnya) dengan fiqih (sebagai aspek lahiriahnya)
3.
Lebih bersifat
mengajarkan dualisme dalam hubungan antar Tuhan dan manusia
4.
Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa
dengan latihan mental.[4]
Untuk mencapai kebahagiaan yang optimal,
seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan
(takhalluq bi akhlaqillah), melalui penyucian jiwa raga yang bermula
dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan beraklaqul karimah
melalui pola penafsiran sifat-sifat Allah.[5]
Dalam tasawuf akhlai dikenal tiga fase pendidikan jiwa dengan seni menata hati,
yakni:
a. Takhalli (Pengosongan
sifat-sifat tercela)
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit
yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk
sifat tercela itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan
menghindarinya. Jika ini dapat dilakukan secara baik, maka kebahagiaan akan
diperoleh seseorang.
b. Tahalli (pengisian
dengan sifat-sifat terpuji)
Tahalli
berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik,
membina pribadi agar berakhlak mulia. Sifat-sifat itu antara lain tauhid,
ikhlas, tobat, zuhud, wara’, sabar, faqr, syukur dengan cara mempergunakan
nikmat dan rahmat Allah secara fungsional dan proporsional, ridha, tawakal dan
sebagainya.
c. Tajalli (kejernihan hati karena
berada segaris dengan Allah)
Setelah melalui
takhali dan tahalli, seseorang akan memperoleh tajalli, yakni terangnya
hati nurani berasal dari sinarnya Allah. Ini akan mengakibatkan terbukanya hijab
(penghalang) yang terdiri sifat-sifat kemanusiaan menuju sifat ketuhanan.
Ini akan mengawali pencapaian ma’rifatullah yang banyak didambakan oleh
manusia sufi.[6]
Diantara
tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaqi antara lain:
1.
Hasan
Al-Basri ( Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar)
Hasan al-Bashri adalah seorang sufi
angkatan tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara' dan zuhud pada kehidupan dunia. Prinsip
ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukur dengan
sunnah Nabi.
Di antara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’. Dasar pendirian yang paling utama adalah Zuhud terhadap
kehidupan dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan dunia.
Beliau berkata “dunia adalah tempat kerja bagi orang yang disertai perasaan
tidak senggang dan tidak butuh kepadanya. Barang siapa menyertainya dengan
perasaan ingin memilikinya dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh
dunia dan diantarkan pada hal-hal yang tidak tertanggungkan kesabarannya ”
Prinsip kedua ajaran Hasan Al Bashri
adalah Khauf dan Raja'. Khauf adalah merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa
dan sering melalaikan perintah Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi
motivasi tersendiri bagi seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar
pengabdian kepada Allah. Sedangkan sikap raja' adalah mengharap akan ampunan Allah dan karunia-Nya. Oleh
karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk
melakukan muhasabah agar selalu mamikirkan
kehidupan yang hakiki dan abadi.[7]
2. Al-Muhasibi
Al-Muhasibi (w. 234) menempuh jalan tasawuf karena hendak
keluar dari keraguan yang dihadapinya.
Tatkala mengamati umat Islam, ia menemukan hanya sedikit orang yang tahu
benar tentang keakhiratan, sebagian besar hanya mencari ilmu karena motivasi
keduniaan. Al-Muhasibi membuat kesimpulan bahwa jalan keselamatan adalah
senantiasa berpegang teguh dalam ketaqwaan kepada Allah. Ajaran-ajaran tasawufnya antara lain:
a.
Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan
batasan-batasan agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat
mengaburkan pengertian dan menyebabkan keraguan. Al-Muhasibi menyatakan bahwa
ma’rifat harus ditempuh berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Tahapan-tahapan
ma’rifat menurut Al-Muhasibi:
1)
Taat. Karena awal mula timbulnya cinta adalah ketaatan.
Kecintaan ini diimplementasikan dari hati, kemudian melimpah pada lidah dan
anggota tubuh melalui ibadah sehari-hari.
2)
Aktivitas tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang
memenuhi hati.
3)
Terbukanya khazanah keilmuan dan rahasia ghaib yang
tersimpan.
4)
Penafiran diri (fana’) dan diikuti oleh keabadian (baqa’).
Pada tahap ini telah sampai pada tigkat kebolehan untuk mengambil suatu
tindakan dari ilmu mereka.
b.
Khauf dan raja’. Khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menuruy
Al-Muhasibi menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan
jiwa. Ketaatan berawal wara’, wara’ berawal dari takwa, awal dari takwa adalah instrospeksi
diri (muhasabah an-nafs), instrospeksi berawal dari khauf dan raja’. Beliau menghubungkan kedua sifat itu dengan ibadah dan
janji serta ancaman dari Allah. Raja’ dalam pandangan A-Muhasibi harus melahirkan amal shaleh
sehingga berhak mendapat pahala dari Allah. Inilah yang dilakukan oleh mu’min
sejati dan para sahabat Nabi.[8]
B. Tasawuf Falsafi
Pada perkembangannya pada abad ke VI H,
ajaran tasawuf yang disampaikan oleh para sufi mulai menyentuh masalah-masalah
yang bersifat teoritis dan filosofis. Tasawuf falsafi disebut pula
dengan tasawuf nazhari. Ajaran tasawuf ini memadukan visi
mistis dan visi rasional penggagasnya. Percampuran ini tidak lepas dari
pertemuan ajaran-ajaran filsafat Yunani, Persi, India dan Nasrani.[9]
Tasawuf ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan sebagai
tasawuf murni karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.[10]
Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar (syatahate),
yakni suatu ungkapan yang sulit difahami, yang sering kali mengakibatkan
kesalah fahaman pihak luar.[11]
Sekalipun kaum sufi telah terpengaruh
oleh filsafat dalam memahami nash-nash agama dan menafsirkannya, kadangkala
mereka masih tetap memegang taguh nash-nash itu secara lahiriah dan
menjadikannya sebagai pegangan dalam praktik keagamaan dan peristilahan yang
mereka gunakan.[12] Perbedaannya
dengan tasawuf akhlaki, tasawuf akhlaki lebih menonjol kepada segi praktis,
sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis sehingga dalam konsepnya
lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan filsafat yang sulit
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam. Diantara
konsep tasawuf falsafi adalah:
1. Fana (hilang, hancur, sirna,
rusak atau lenyap)
Fana
dalam akhlak berarti hilangnya kesadaran akan akhlak yang madzmumah dan
yang tinggal dan disadari hanya akhlak yang mahmudah. Fana dalam tasawuf
pada umumnya difahami sebagai tidak adanya kesadaran indrawi dan yang disadari
hanya Allah SAW. sehingga orang yang tenggelam (fana) kedalam Tuhan (fana
fi al kholiq) berarti tidak lagi sadar terhadap selain Tuhan. Fana kedalam
Tuhan adakalanya fana kedalam dzat-Nya artinya yang diingat hanya dzat Tuhan
dan adakalanya fana kedalam sifat-sifat-Nya artinya yang disadari hanya sifat
Allah SWT. dan tidak sadar terhadap sifat-sifat selain Allah.
2. Ittihad (menyatu)
Dalam
tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seseorang sufi merasa dirinya menyatu
dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata
aku. Konsep ini dipelopori oleh Abu
Yazid al-Busthamy (w. 261) dimana ia mengatakan:
إنّي
أنا الله لا إله إلاّ آنا فعبدوإنّي
“Sesungguhnya aku adalah Allah tidak ada
Tuhan selain aku”
3. Hulul
Hulul
secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaanya dilenyapkan. Ajaran ini
diajarkan oleh al-Hallaj (w.309 H) dimana ia pernah mengucapkan آنا الحق (saya adalah tuhan yang maha benar).
4. Wahdah al-Wujud ( kesatuan wujud)
Wahdatul
al-wujud artinya yang ada itu hanya satu. Faham Wahdatul
al-wujud dalam tasawuf berarti faham yang menyatakan bahwa yang ada itu
hakikatnya hanya satu yaitu Tuhan. Allah dan alam adalah satu hakikat,
sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari wujud yang hakiki sehingga tidak ada
yang wujud kecuali Allah. Faham ini diajarkan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 628
H). Dasar rasio wahdah al-Wujud ini adalah bahwa setiap yang ada (makhluk)
selain Allah keberadaannya tergantung pada wujud Allah, sekiranya Allah tidak
ada masti makhluk tidak akan wujud.[13]
C. Tarekat
Thariqah
merupakan jalan dari syari’at menuju hakikat guna mendapatkan ma’rifat.
Kata thariqat dalam bahasa Arab berarti “jalan”. Dalam ilmu tasawuf
dimaksudkan sebagai jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat
melihat Tuhan dengan mata hati yang akhirnya bersatu dengan Tuhan.[14]
1. Perkembangan Tarekat
Syarifah Syafe’i dalam sebuah tulisannya pada al-ta’lim,
mengungkap bahwa ada dua corak kehidupan yang sangat bertolak belakang yang
mulai muncul di tengah-tengah kehidupan umat Islam pada abad pertama dan kedua
Hijriyah. Pertama, corak kehidupan yang mengejar harta benda atau
pangkat, memperturutkan hawa nafsu, bergelimang dosa dan membelakangi dosa.
Seperti yang diperlihatkan oleh seorang kaya pada zaman khalifah Bani Umayyah
(41-132 H/ 661-750M). Kedua, merupakan corak kehidupan yang sangat tekun
beribadah, menjauhi harta dan pangkat atau membelakangi dunia. Corak kehidupan
yang kedua ini diperlihatkan oleh para zahid besar, yang muncul pada abad ke-2
H, seperti Hasan al-Bashri di Basrah Irak, Fudhail bin Iyadh di Makkad dan
Sufyan al-Tsauri di Basrah.
Amir Ali dalam bukunya The Spirit of Islam,
yang dikutip oleh Abu Bakar Aceh, mengatakan bahwa ajaran sufi dengan cepatnya
bergerak dari Iran dan Persi menuju India, di mana kehidupan sufi ini
mendapatkan tanah yang subur untuk hidup. Sejumlah sufi tersebut lebih banyak
berkembang di Hindustan dan Dekkan yang mendapatkan nama harum semasa hidupnya.
Melihat perkembangan sufisme itu dengan adanya pendekatan para ulama yang
berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya.
Menurut Azyumardi Azra, sikap rekonsiliasi antara
syariat dan tasawuf dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan
lahirnya neo-Sufisme. Ajaran-ajaran tasawuf dari para sufi ini pada akhirnya
berkembang menjadi suatu ajaran tarekat yang terhimpun dalam satu bentuk
organisasi.
Menurut Harun Nasution, tarekat yang pertama muncul
adalah Tarekat Qadiriyyah. Tarekat ini dihubungkan dengan Muhyi al-Din Abd
al-Qadir Ibn Abdillah al-Jailani. Dari murid-murid tarekat ini pada akhirnya
ada yang mendirikan tarekat-tarekat lain, sehingga berkembang tarekat dengan
cabang-cabangnya yang banyak. Salah satu di antaranya yaitu Tarekat Rifa’iyyah
di Irak yang kemudian punya pengikut di dunia Islam bagian Barat, seperti
Mesir. Salah seorang muridnya di Mesir yaitu Ahmad al-Badawi (w. 1276 M), yang
selanjutnya membentuk tarekat lain yang dikenal dengan Ahmadiyah atau
Badawiyah.
Namun tentang tarekat yang pertama kali muncul
terjadi perbedaan pendapat para ahli, karena berbedanya sudut pandang dan
alasan mereka dalam mengemukakan pendapatnya. Juga disebabkan karena berbedanya
biografi daerah yang mereka hadapi. Dalam kitab Ada al-Muridin
menyatakan bahwa Tarekat al-Suhrawardi-lah yang merupakan aliran sufi universal
yang tertua. Tarekat itu didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi beserta
keponakannya. Dari tarekat inilah berkembangnya tarekat dengan cabang-cabangnya
yang lain.
Sesudah abad ke-2 H, perkembangan Tarekat Salafiyah
sudah dipengaruhi oleh filsafat dan aliran kalam/pikiran manusia yang telah
memasuki negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga
pengalaman antara Tarekat Nabawiyah dengan Tarekat Salafiyah telah bercampur
dengan filsafat.
Azyumardi Azra dalam buku Thariqah Alawiyah
mengungkapkan tarekat yang punya peranan penting dalam sufisme pada abad ke-17
M adalah Tarekat Alawiyah yang dinisbahkan pada Iman Alawi bin Ubaidillah (w.
383 H). Tarekat ini sangat signifikan karena turut menandai perkembangan baru
dalam kehidupan sosial keagamaan (tasawuf). Tarekat ini berkembang di Hadramaut
yang biasa disebut dengan Tarekat Arab. Tarekat ini tarekat yang tidak
berbunga-bunga dan lebih menekankan pada aspek akhlak atau amali dalam
kesufian. Bisa juga dikatakan bahwa tarekat ini dikategorikan pada tarekat
Neo-Sufisme. Ditinjau dari kedudukan Tarekat Alawiyah ini berada antara Tarekat
Ghazaliyah dan tarekat Syazaliyah, karena kedua tarekat ini ada pada Tarekat
Alawiyah. Tarekat Ghazaliyah menekankan pada pentingnya amal yang zahir,
sedangkan Tarekat Syadzaliyah tidak menekankan pada sikap ketergantungan
terhadap amal.
Dengan banyaknya tarekat yang muncul tersebut, Syekh
Jalaludin yang dikutip Aceh, menjelaskan pembagian tarekat secara garis
besarnya, yaitu: Pertama, tarekat yang sudah diakui kebenarannya dan
dikenal dengan Tarekat Mu’tabarah. Kedua, tarekat yang ajarannya sudah
menyimpang dari syariat Islam, yang dikenal dengan sebutan Tarekat Ghairu
Mu’tabarah. Dalam Ensiklopedi Islam tertulis bahwa tarekat mu’tabarah terbagi
atas 44 macam dan Syekh Jalaludin membaginya kepada 41 macam. Sedangkan tarekat
ghairu mu’tabarah belum ditemukan jumlahnya dalam berbagai literatur. Namun
demikian, tarekat ini dapat diperhatikan dari ajaran yang mereka praktikkan,
yaitu sejauh ibadah yang mereka lakukan telah keluar dari syariat Islam.
Begitulah tarekat mengalami perkembangan abad demi
abad yang dalam setiap abad selalu mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H
yang memberikan kontribusi terbesar adalah Muhyiddin Ibn Arabi di saat tasawuf
mencapai puncak kejayaannya. Filsuf Muslim Mulla Shandra memandang bahwa Ibn
Arabi, dari sisi kedudukan, lebih tinggi dari Ibn Sina dan al-Farabi. Tapi
melihat kepada sosok dan kepribadiannya yang luar biasa, menyebabkan timbulnya
pandangan yang bertentangan. Karena sebagian ada yang memandangnya sebagai
orang yang sangat berarti dalam perkembangan tasawuf, dan sebagian ada yang
memandangnya sebagai seorang pembunuh agama.[15]
2. Substansi Pemikiran Tarekat
Tarekat adalah salah satu sarana dan cara berlatih
atau penggemblengan diri agar seseorang semakin tinggi derajat keimanan dan
ketakwaannya kepada Allah SWT. Sehingga idealnya orang yang sudah mengikuti
tarekat harus semakin baik amal ibadahnya dan semakin bertaqwa kepada Allah
SWT.[16]
Di samping itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan
dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia.[17]
Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa
sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada
Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula,
karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan
hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembahyang, puasa, haji dan
jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal
kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan ketamaan hawa
nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semuanya
itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari’at dan sunnah Nabi.
Oleh karena itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah
oleh ulama harus mempunyai lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk
dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman
setarekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk
kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan doa dan wirid, dan kelima
mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.[18]
Salah satu bagian yang terpenting dalam tarekat,
yang hampir selalu kelihatan dikerjakan ialah dzikir. Dzikir artinya mengingat
kepada Tuhan, tetapi di dalam tarekat mengingat kepada Tuhan itu dibantu dengan
bermacam-macam ucapan, yang menyebut nama Allah SWT. atau sifatnya, atau
kata-kata yang mengingatkan mereka kepada Tuhan.
Ahli-ahli tarekat berkeyakinan, jika seorang manusia
atau hamba Allah telah yakin, bahwa lahir dan batinnya dilihat Allah dan segala
pekerjaannya diawasinya, segala perkataannya didengarnya dan segala cita-cita
dan niatnya diketahui Allah, maka hamba Allah itu akan menjadi seorang manusia
yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada
Tuhan, dawamul ubudiyah, berkekallah dengan ibadat, dalam memperhambakan
dirinya kepada sang Khalik.
Lalu dzikir berarti menyebut-nyebut nama Allah SWT.
atau ma’rifat Allah SWT, yang pada keyakinan mereka itu akan melahirkan dua
sifat pada manusia, pertama seorang hamba Allah SWT. dan kedua kasih kepada
Allah SWT. Jika seorang hamba takut kepada Allah SWT. tentu akan memilih
pekerjaan-pekerjaan yang disukai Allah SWT. dan menggiatkan dia menjauhkan diri
pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat tiap-tiap manusia
tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan
nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta’at, dan keempat
berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang naik turun, mestilah ia
mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu
lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, takabur dan tinggi
hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima
nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada Tuhan, yang akan
membawa lebih baik kelakuannya.[19]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna
membersihkan tingkah laku. Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas
kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku secara ketat. Untuk mencapai kebahagiaan yang
optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri
ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah), melalui penyucian jiwa raga yang
bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan beraklaqul
karimah melalui pola penafsiran sifat-sifat Allah. Dalam
tasawuf akhlai dikenal tiga fase pendidikan jiwa dengan seni menata hati, yakni:
takhalli, tahalli, dan tajalli. Diantara tokoh tasawuf antara lain adalah Hasan
Al-Bashri dan Al-Muhasibi.
Pada perkembangannya pada abad ke VI H, ajaran
tasawuf yang disampaikan oleh para sufi mulai menyentuh masalah-masalah yang
bersifat teoritis dan filosofis. Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari.
Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Ciri
umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar (syatahate), yakni
suatu ungkapan yang sulit difahami, yang sering kali mengakibatkan kesalah
fahaman pihak luar. Diantara konsep tasawuf falsafi adalah: fana, ittihad, hulul,
dan wahdah al-wujud.
Perbedaannya dengan tasawuf akhlaki, tasawuf akhlaki
lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada
segi teoritis sehingga dalam konsepnya lebih mengedepankan asas rasio dengan
pendekatan filsafat yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya bagi orang awam.
Kata thariqat dalam bahasa Arab berarti
“jalan”. Dalam ilmu tasawuf dimaksudkan sebagai jalan yang harus ditempuh
seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati yang akhirnya
bersatu dengan Tuhan. Menurut Harun Nasution, tarekat yang pertama muncul adalah
Tarekat Qadiriyyah. Dari murid-murid tarekat ini pada akhirnya ada yang
mendirikan tarekat-tarekat lain, sehingga berkembang tarekat dengan
cabang-cabangnya yang banyak. Sesudah abad ke-2 H, perkembangan Tarekat
Salafiyah sudah dipengaruhi oleh filsafat dan aliran kalam/pikiran manusia yang
telah memasuki negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok,
sehingga pengalaman antara Tarekat Nabawiyah dengan Tarekat Salafiyah telah
bercampur dengan filsafat.
Idealnya orang yang sudah mengikuti tarekat harus
semakin baik amal ibadahnya dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Di samping
itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia.
Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia.
Tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus
mempunyai lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai
perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman setarekat untuk
meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan, keempat
mengisi semua waktu dengan doa dan wirid, dan kelima mengekangi hawa
nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.
B.
Kritik
dan Saran
Demikian
makalah yang kami buat. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan
semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aceh,
Abubakar. 1996. Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik. Solo:
Ramadhani
Anwar,
Rosihon dkk. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Hilal,
Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka
Hidayah
Nasirudin.
2010. Pendidikan Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media Group
Nasution,
Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf (Pengenalan,
Pemahaman dan Pengaplikasiannya). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rusli,
Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sholikhin,
Muhammad. 2004. Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil). Semarang: Pustaka
Nuun
Subhi,
Muhammad Rifai. 2012. Tasawuf Moderen (Paradigma Alternatif Pendidikan Islam.
Pemalang: Al-Rif Managemen
Syukur,
Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Wijaya,
Aden dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria
Insani Press
[1] Nasirudin, pendidikan
Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 3
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf dan
Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 19-20
[3] Ris’an Rusli, Tasawuf dan
Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi),... hlm. 24
[4] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya),
( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 31
[5] Muhammad Sholikhin, Tasawuf
Aktual (Menuju Insan Kamil), (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 10
[6] Muhammad Sholikhin, Tasawuf
Aktual (Menuju Insan Kamil),... hlm. 15-16
[7] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya),...
hlm. 206-207
[8] Ibrahim Hilal, Tasawuf antara
Agama dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 69-74
[9] Aden Wijaya, dkk, Pemikiran
dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2007), hlm. 94
[10] Muhammad Rifai Subhi, Tasawuf
Moderen (Paradigma Alternatif Pendidikan Islam), ( Pemalang: Al-Rif
Managemen, 2012), hlm. 35
[11] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya),...
hlm 33
[12] Ibrahim Hilal, Tasawuf antara
Agama dan Filsafat,... hlm. 67
[13]
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf,... hlm. 110-113
[14] Muhammad Sholikhin, Tasawuf
Aktual (Menuju Insan Kamil),...hlm. 118-120
[15] Ris’an Rusli, Tasawuf dan
Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi,... hlm. 197-201.
[16] Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 51.
[17] Rosihon Anwar dkk., Ilmu
Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 171.
[18] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 72.
[19] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat: Kajian Historis tentang Mustik... hlm. 278-279.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar