Sabtu, 29 Oktober 2016

Pemikiran Manhaj Ahl Tasawuf

PEMIKIRAN MANHAJ AHL AL-TASAWUF


MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Perkembangan Pemikiran Islam
Dosen pengampu : Ahmad Muthohar, M. Ag


Disusun Oleh :
                                                      Kelompok 5, PAI-6A
Shofa Kuni Silfiati           (113111019)
Siti Fajaroh                       (113111020)
Subur Haryanto                (113111021)
Ummu Hanifah                 (113111022)   


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


PEMIKIRAN MANHAJ AHL AL-TASAWUF
I.            PENDAHULUAN
Membicarakan sufi dan tasawuf berarti membicarakan orang yang lebih mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa, lebih mengutamakan perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan agar lebih bisa untuk sampai kepada Sang Khalik sebagai tempat kembalinya. Tasawuf menurut Ibrahim Basyuni adalah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras (mujahadah) agar bisa berhubungan dengan wujud mutlak (Tuhan).[1]
Kaum sufi pada dasarmya adalah pendukung dari ajaran Islam murni sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu ajaran kaum sufi bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Allah menjadi tema sentral pemikiran kaum sufi sehingga melahirkan kerinduan para sufi kepada-Nya dan mendorongnya untuk mencari ridhonya. Pemikiran yang seperti ini membuat para sufi bersifat lebih zuhud terhadap kehidupan dunia. Sifat zuhud menurut mereka akan membawa mereka kepada kebersihan hati yang akan membuahkan ma’rifat kepada Allah. Kezuhudan mereka memberikan warna dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka ibadah harus dapat dilaksanakan hingga sampai pada tujuannya yaitu kepada Allah atau ibadah harus sampai dapat mengenal Allah.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa golongan tasawuf memiliki ciri khas dalam pemikirannya, yaitu sifat kesederhanaan dan zuhud terhadap kehidupan dunia.[2] Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran manhaj tasawuf, mulai dari tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi dan juga tarekat.
II.            RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana pemikiran manhaj tasawuf  akhlaqi?
B.  Bagaimana pemikiran manhaj tasawuf  falsafi?
C.  Bagaimana perkembangan dan substansi pemikiran tarekat?
III.            PEMBAHASAN
A.  Tasawuf  Akhlaqi 
Bila dilihat dari segi bentuk ajarannya, pada perkembangannya yang mula-mula tasawuf merupakan hal yang bersifat amaliah. Ajaran-ajaran tasawuf semata-mata menyangkut praktik atau amaliah akhlakiah, seperti kesungguhan ibadah, zuhud dan lain sebagainya. Bentuk ajaran tasawuf ini disebut dengan istilah tasawuf amali atau tasawuf akhlaki yang  identik dengan tasawuf Sunni.[3] Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku. Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat.
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaki antara lain:
1.         Melandaskan diri pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadits sebagai kerangka pendekatannya.
2.         Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqih (sebagai aspek lahiriahnya)
3.         Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar Tuhan dan manusia
4.         Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa dengan latihan mental.[4]
Untuk mencapai kebahagiaan yang optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah), melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan beraklaqul karimah melalui pola penafsiran sifat-sifat Allah.[5] Dalam tasawuf akhlai dikenal tiga fase pendidikan jiwa dengan seni menata hati, yakni:
a.      Takhalli (Pengosongan sifat-sifat tercela)
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat tercela itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Jika ini dapat dilakukan secara baik, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang.
b.      Tahalli (pengisian dengan sifat-sifat terpuji)
Tahalli berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik, membina pribadi agar berakhlak mulia. Sifat-sifat itu antara lain tauhid, ikhlas, tobat, zuhud, wara’, sabar, faqr, syukur dengan cara mempergunakan nikmat dan rahmat Allah secara fungsional dan proporsional, ridha, tawakal dan sebagainya.
c.       Tajalli (kejernihan hati karena berada segaris dengan Allah)
Setelah melalui takhali dan tahalli, seseorang akan memperoleh tajalli, yakni terangnya hati nurani berasal dari sinarnya Allah. Ini akan mengakibatkan terbukanya hijab (penghalang) yang terdiri sifat-sifat kemanusiaan menuju sifat ketuhanan. Ini akan mengawali pencapaian ma’rifatullah yang banyak didambakan oleh manusia sufi.[6]
Diantara tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaqi antara lain:
1.      Hasan Al-Basri ( Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar)
Hasan al-Bashri adalah seorang sufi angkatan tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara' dan zuhud pada kehidupan dunia. Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukur dengan sunnah Nabi.
Di antara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’. Dasar pendirian yang paling utama adalah Zuhud terhadap kehidupan dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan dunia. Beliau berkata “dunia adalah tempat kerja bagi orang yang disertai perasaan tidak senggang dan tidak butuh kepadanya. Barang siapa menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia dan diantarkan pada hal-hal yang tidak tertanggungkan kesabarannya ”
Prinsip kedua ajaran Hasan Al Bashri adalah Khauf dan Raja'. Khauf adalah merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar pengabdian kepada Allah. Sedangkan sikap raja' adalah mengharap akan ampunan Allah dan karunia-Nya. Oleh karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu mamikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.[7]
2.      Al-Muhasibi
Al-Muhasibi  (w. 234) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.  Tatkala mengamati umat Islam, ia menemukan hanya sedikit orang yang tahu benar tentang keakhiratan, sebagian besar hanya mencari ilmu karena motivasi keduniaan. Al-Muhasibi membuat kesimpulan bahwa jalan keselamatan adalah senantiasa berpegang teguh dalam ketaqwaan kepada Allah.  Ajaran-ajaran tasawufnya antara lain:
a.       Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian dan menyebabkan keraguan. Al-Muhasibi menyatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Tahapan-tahapan ma’rifat menurut Al-Muhasibi:
1)      Taat. Karena awal mula timbulnya cinta adalah ketaatan. Kecintaan ini diimplementasikan dari hati, kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh melalui ibadah sehari-hari.
2)      Aktivitas tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati.
3)      Terbukanya khazanah keilmuan dan rahasia ghaib yang tersimpan.
4)      Penafiran diri (fana’) dan diikuti oleh keabadian (baqa’). Pada tahap ini telah sampai pada tigkat kebolehan untuk mengambil suatu tindakan dari ilmu mereka.
b.      Khauf dan raja’. Khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menuruy Al-Muhasibi menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ketaatan berawal wara’, wara’ berawal dari takwa, awal dari takwa adalah instrospeksi diri (muhasabah an-nafs), instrospeksi berawal dari khauf dan raja’. Beliau menghubungkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman dari Allah. Raja’ dalam pandangan A-Muhasibi harus melahirkan amal shaleh sehingga berhak mendapat pahala dari Allah. Inilah yang dilakukan oleh mu’min sejati dan para sahabat Nabi.[8]

B.  Tasawuf  Falsafi
Pada perkembangannya pada abad ke VI H, ajaran tasawuf yang disampaikan oleh para sufi mulai menyentuh masalah-masalah yang bersifat teoritis dan filosofis. Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari. Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Percampuran ini tidak lepas dari pertemuan ajaran-ajaran filsafat Yunani, Persi, India dan Nasrani.[9] Tasawuf ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan sebagai tasawuf murni karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.[10] Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar (syatahate), yakni suatu ungkapan yang sulit difahami, yang sering kali mengakibatkan kesalah fahaman pihak luar.[11]
Sekalipun kaum sufi telah terpengaruh oleh filsafat dalam memahami nash-nash agama dan menafsirkannya, kadangkala mereka masih tetap memegang taguh nash-nash itu secara lahiriah dan menjadikannya sebagai pegangan dalam praktik keagamaan dan peristilahan yang mereka gunakan.[12] Perbedaannya dengan tasawuf akhlaki, tasawuf akhlaki lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis sehingga dalam konsepnya lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan filsafat yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam. Diantara konsep tasawuf falsafi adalah:
1.    Fana (hilang, hancur, sirna, rusak atau lenyap)
Fana dalam akhlak berarti hilangnya kesadaran akan akhlak yang madzmumah dan yang tinggal dan disadari hanya akhlak yang mahmudah. Fana dalam tasawuf pada umumnya difahami sebagai tidak adanya kesadaran indrawi dan yang disadari hanya Allah SAW. sehingga orang yang tenggelam (fana) kedalam Tuhan (fana fi al kholiq) berarti tidak lagi sadar terhadap selain Tuhan. Fana kedalam Tuhan adakalanya fana kedalam dzat-Nya artinya yang diingat hanya dzat Tuhan dan adakalanya fana kedalam sifat-sifat-Nya artinya yang disadari hanya sifat Allah SWT. dan tidak sadar terhadap sifat-sifat selain Allah.
2.    Ittihad (menyatu)
Dalam tasawuf, ittihad adalah kondisi dimana seseorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing diantara keduanya bisa memanggil kata-kata aku. Konsep ini dipelopori  oleh Abu Yazid al-Busthamy (w. 261) dimana ia mengatakan:
إنّي أنا الله لا إله إلاّ آنا فعبدوإنّي
“Sesungguhnya aku adalah Allah tidak ada Tuhan selain aku”

3.     Hulul
Hulul secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaanya dilenyapkan. Ajaran ini diajarkan oleh al-Hallaj (w.309 H) dimana ia pernah mengucapkan آنا الحق (saya adalah tuhan yang maha benar).
4.     Wahdah al-Wujud ( kesatuan wujud)
Wahdatul al-wujud artinya yang ada itu hanya satu. Faham Wahdatul al-wujud dalam tasawuf berarti faham yang menyatakan bahwa yang ada itu hakikatnya hanya satu yaitu Tuhan. Allah dan alam adalah satu hakikat, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari wujud yang hakiki sehingga tidak ada yang wujud kecuali Allah. Faham ini diajarkan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 628 H). Dasar rasio wahdah al-Wujud ini adalah bahwa setiap yang ada (makhluk) selain Allah keberadaannya tergantung pada wujud Allah, sekiranya Allah tidak ada masti makhluk tidak akan wujud.[13]
C.  Tarekat
Thariqah merupakan jalan dari syari’at menuju hakikat guna mendapatkan ma’rifat. Kata thariqat dalam bahasa Arab berarti “jalan”. Dalam ilmu tasawuf dimaksudkan sebagai jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati yang akhirnya bersatu dengan Tuhan.[14]
1.    Perkembangan Tarekat
Syarifah Syafe’i dalam sebuah tulisannya pada al-ta’lim, mengungkap bahwa ada dua corak kehidupan yang sangat bertolak belakang yang mulai muncul di tengah-tengah kehidupan umat Islam pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Pertama, corak kehidupan yang mengejar harta benda atau pangkat, memperturutkan hawa nafsu, bergelimang dosa dan membelakangi dosa. Seperti yang diperlihatkan oleh seorang kaya pada zaman khalifah Bani Umayyah (41-132 H/ 661-750M). Kedua, merupakan corak kehidupan yang sangat tekun beribadah, menjauhi harta dan pangkat atau membelakangi dunia. Corak kehidupan yang kedua ini diperlihatkan oleh para zahid besar, yang muncul pada abad ke-2 H, seperti Hasan al-Bashri di Basrah Irak, Fudhail bin Iyadh di Makkad dan Sufyan al-Tsauri di Basrah.
Amir Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, yang dikutip oleh Abu Bakar Aceh, mengatakan bahwa ajaran sufi dengan cepatnya bergerak dari Iran dan Persi menuju India, di mana kehidupan sufi ini mendapatkan tanah yang subur untuk hidup. Sejumlah sufi tersebut lebih banyak berkembang di Hindustan dan Dekkan yang mendapatkan nama harum semasa hidupnya. Melihat perkembangan sufisme itu dengan adanya pendekatan para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi mencapai puncaknya.
Menurut Azyumardi Azra, sikap rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan lahirnya neo-Sufisme. Ajaran-ajaran tasawuf dari para sufi ini pada akhirnya berkembang menjadi suatu ajaran tarekat yang terhimpun dalam satu bentuk organisasi.
Menurut Harun Nasution, tarekat yang pertama muncul adalah Tarekat Qadiriyyah. Tarekat ini dihubungkan dengan Muhyi al-Din Abd al-Qadir Ibn Abdillah al-Jailani. Dari murid-murid tarekat ini pada akhirnya ada yang mendirikan tarekat-tarekat lain, sehingga berkembang tarekat dengan cabang-cabangnya yang banyak. Salah satu di antaranya yaitu Tarekat Rifa’iyyah di Irak yang kemudian punya pengikut di dunia Islam bagian Barat, seperti Mesir. Salah seorang muridnya di Mesir yaitu Ahmad al-Badawi (w. 1276 M), yang selanjutnya membentuk tarekat lain yang dikenal dengan Ahmadiyah atau Badawiyah.
Namun tentang tarekat yang pertama kali muncul terjadi perbedaan pendapat para ahli, karena berbedanya sudut pandang dan alasan mereka dalam mengemukakan pendapatnya. Juga disebabkan karena berbedanya biografi daerah yang mereka hadapi. Dalam kitab Ada al-Muridin menyatakan bahwa Tarekat al-Suhrawardi-lah yang merupakan aliran sufi universal yang tertua. Tarekat itu didirikan oleh Abu al-Najib al-Suhrawardi beserta keponakannya. Dari tarekat inilah berkembangnya tarekat dengan cabang-cabangnya yang lain.
Sesudah abad ke-2 H, perkembangan Tarekat Salafiyah sudah dipengaruhi oleh filsafat dan aliran kalam/pikiran manusia yang telah memasuki negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga pengalaman antara Tarekat Nabawiyah dengan Tarekat Salafiyah telah bercampur dengan filsafat.
Azyumardi Azra dalam buku Thariqah Alawiyah mengungkapkan tarekat yang punya peranan penting dalam sufisme pada abad ke-17 M adalah Tarekat Alawiyah yang dinisbahkan pada Iman Alawi bin Ubaidillah (w. 383 H). Tarekat ini sangat signifikan karena turut menandai perkembangan baru dalam kehidupan sosial keagamaan (tasawuf). Tarekat ini berkembang di Hadramaut yang biasa disebut dengan Tarekat Arab. Tarekat ini tarekat yang tidak berbunga-bunga dan lebih menekankan pada aspek akhlak atau amali dalam kesufian. Bisa juga dikatakan bahwa tarekat ini dikategorikan pada tarekat Neo-Sufisme. Ditinjau dari kedudukan Tarekat Alawiyah ini berada antara Tarekat Ghazaliyah dan tarekat Syazaliyah, karena kedua tarekat ini ada pada Tarekat Alawiyah. Tarekat Ghazaliyah menekankan pada pentingnya amal yang zahir, sedangkan Tarekat Syadzaliyah tidak menekankan pada sikap ketergantungan terhadap amal.
Dengan banyaknya tarekat yang muncul tersebut, Syekh Jalaludin yang dikutip Aceh, menjelaskan pembagian tarekat secara garis besarnya, yaitu: Pertama, tarekat yang sudah diakui kebenarannya dan dikenal dengan Tarekat Mu’tabarah. Kedua, tarekat yang ajarannya sudah menyimpang dari syariat Islam, yang dikenal dengan sebutan Tarekat Ghairu Mu’tabarah. Dalam Ensiklopedi Islam tertulis bahwa tarekat mu’tabarah terbagi atas 44 macam dan Syekh Jalaludin membaginya kepada 41 macam. Sedangkan tarekat ghairu mu’tabarah belum ditemukan jumlahnya dalam berbagai literatur. Namun demikian, tarekat ini dapat diperhatikan dari ajaran yang mereka praktikkan, yaitu sejauh ibadah yang mereka lakukan telah keluar dari syariat Islam.
Begitulah tarekat mengalami perkembangan abad demi abad yang dalam setiap abad selalu mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H yang memberikan kontribusi terbesar adalah Muhyiddin Ibn Arabi di saat tasawuf mencapai puncak kejayaannya. Filsuf Muslim Mulla Shandra memandang bahwa Ibn Arabi, dari sisi kedudukan, lebih tinggi dari Ibn Sina dan al-Farabi. Tapi melihat kepada sosok dan kepribadiannya yang luar biasa, menyebabkan timbulnya pandangan yang bertentangan. Karena sebagian ada yang memandangnya sebagai orang yang sangat berarti dalam perkembangan tasawuf, dan sebagian ada yang memandangnya sebagai seorang pembunuh agama.[15]
2.    Substansi Pemikiran Tarekat
Tarekat adalah salah satu sarana dan cara berlatih atau penggemblengan diri agar seseorang semakin tinggi derajat keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Sehingga idealnya orang yang sudah mengikuti tarekat harus semakin baik amal ibadahnya dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT.[16] Di samping itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia.[17]
Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembahyang, puasa, haji dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan ketamaan hawa nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari’at dan sunnah Nabi.
Oleh karena itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan doa dan wirid, dan kelima mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.[18]
Salah satu bagian yang terpenting dalam tarekat, yang hampir selalu kelihatan dikerjakan ialah dzikir. Dzikir artinya mengingat kepada Tuhan, tetapi di dalam tarekat mengingat kepada Tuhan itu dibantu dengan bermacam-macam ucapan, yang menyebut nama Allah SWT. atau sifatnya, atau kata-kata yang mengingatkan mereka kepada Tuhan.
Ahli-ahli tarekat berkeyakinan, jika seorang manusia atau hamba Allah telah yakin, bahwa lahir dan batinnya dilihat Allah dan segala pekerjaannya diawasinya, segala perkataannya didengarnya dan segala cita-cita dan niatnya diketahui Allah, maka hamba Allah itu akan menjadi seorang manusia yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada Tuhan, dawamul ubudiyah, berkekallah dengan ibadat, dalam memperhambakan dirinya kepada sang Khalik.
Lalu dzikir berarti menyebut-nyebut nama Allah SWT. atau ma’rifat Allah SWT, yang pada keyakinan mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, pertama seorang hamba Allah SWT. dan kedua kasih kepada Allah SWT. Jika seorang hamba takut kepada Allah SWT. tentu akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang disukai Allah SWT. dan menggiatkan dia menjauhkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta’at, dan keempat berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang naik turun, mestilah ia mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, takabur dan tinggi hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada Tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.[19]
IV.            PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku. Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat. Untuk mencapai kebahagiaan yang optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqillah), melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan beraklaqul karimah melalui pola penafsiran sifat-sifat Allah. Dalam tasawuf akhlai dikenal tiga fase pendidikan jiwa dengan seni menata hati, yakni: takhalli, tahalli, dan tajalli. Diantara tokoh tasawuf antara lain adalah Hasan Al-Bashri dan Al-Muhasibi.
Pada perkembangannya pada abad ke VI H, ajaran tasawuf yang disampaikan oleh para sufi mulai menyentuh masalah-masalah yang bersifat teoritis dan filosofis. Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari. Ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar (syatahate), yakni suatu ungkapan yang sulit difahami, yang sering kali mengakibatkan kesalah fahaman pihak luar. Diantara konsep tasawuf falsafi adalah: fana, ittihad, hulul, dan wahdah al-wujud.
Perbedaannya dengan tasawuf akhlaki, tasawuf akhlaki lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis sehingga dalam konsepnya lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan filsafat yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.
Kata thariqat dalam bahasa Arab berarti “jalan”. Dalam ilmu tasawuf dimaksudkan sebagai jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati yang akhirnya bersatu dengan Tuhan. Menurut Harun Nasution, tarekat yang pertama muncul adalah Tarekat Qadiriyyah. Dari murid-murid tarekat ini pada akhirnya ada yang mendirikan tarekat-tarekat lain, sehingga berkembang tarekat dengan cabang-cabangnya yang banyak. Sesudah abad ke-2 H, perkembangan Tarekat Salafiyah sudah dipengaruhi oleh filsafat dan aliran kalam/pikiran manusia yang telah memasuki negara Arab, seperti filsafat Yunani, India dan Tiongkok, sehingga pengalaman antara Tarekat Nabawiyah dengan Tarekat Salafiyah telah bercampur dengan filsafat.
Idealnya orang yang sudah mengikuti tarekat harus semakin baik amal ibadahnya dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Di samping itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia.
Tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, kedua mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan doa dan wirid, dan kelima mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.
B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang kami buat. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.



DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar. 1996. Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik. Solo: Ramadhani

Anwar, Rosihon dkk. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah
Nasirudin. 2010. Pendidikan Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media Group
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sholikhin, Muhammad. 2004. Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil). Semarang: Pustaka Nuun
Subhi, Muhammad Rifai. 2012. Tasawuf Moderen (Paradigma Alternatif Pendidikan Islam. Pemalang: Al-Rif Managemen
Syukur, Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wijaya, Aden dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insani Press







[1] Nasirudin, pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 3
[2] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 19-20
[3] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi),... hlm. 24
[4] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya), ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm 31
[5] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil), (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm. 10
[6] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil),... hlm. 15-16
[7] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya),... hlm. 206-207
[8] Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 69-74
[9] Aden Wijaya, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2007), hlm. 94
[10] Muhammad Rifai Subhi, Tasawuf Moderen (Paradigma Alternatif Pendidikan Islam), ( Pemalang: Al-Rif Managemen, 2012), hlm. 35
[11] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya),... hlm 33
[12] Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat,... hlm. 67
[13]  Nasirudin, Pendidikan Tasawuf,... hlm. 110-113
[14] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual (Menuju Insan Kamil),...hlm. 118-120
[15] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi,... hlm. 197-201.
[16] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 51.
[17] Rosihon Anwar dkk., Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 171.
[18] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 72.
[19] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mustik... hlm. 278-279.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar