Sabtu, 29 Oktober 2016

Ittishal Sanad

PERSAMBUNGAN SANAD
(ITTISHAL SANAD)


MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M. Ag.


Disusun Oleh:
(Kelompok 6, PAI – 6A)
Linatu zahroh              (113111012)
Ummu Hanifah           (113111022)
Ahmad Taaib              (113111034)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2014
PERSAMBUNGAN SANAD
(ITTISHAL SANAD)
I.            PENDAHULUAN
Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Hal itu karena para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits Nabi saw dan kemudian berminat menyampaikannya kepada orang lain.[1] Hadis sebagai pernyataan, pengamalan, takrir dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Untuk menjadikan hadis Nabi sebagai alat bantu untuk menjelaskan makna Al-Quran, maka sangat penting diadakan penelitian, yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan apakah sesuatu yang disebut hadits Nabi itu benar-benar shahih atau tidak.
Hadis-hadis Nabi dapat dipertanggungjawabkan apabila telah diteliti pada dua hal, yaitu; sanad dan matan. Oleh sebab itu, meneliti sanad dan matan hadits diperlukan kaedah-kaedah dasar yang dapat dijadikan acuan umum meneliti dan menentukan kualitas suatu hadits, maka kaedah yang dimaksud perlu ditelaah secara kritis.
Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai salah satu kaedah kesahihan sanad hadits, yakni persambungan sanad (ittishal sanad) yang meliputi pengertian, karakteristik, dan juga aplikasinya.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian persambungan sanad (Ittishal Sanad)?
B.     Apa saja karakteristik persambungan sanad?
C.     Bagaimana aplikasi persambungan sanad?

III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Persambungan Sanad (Ittishal Sanad)
Sanad menurut bahasa adalah sesuatu yang kita sandarkan kepadanya, baik tembok ataupun selainnya. Menurut istilah, Imam As Sayuti mengatakan dalam Alfiyahnya:
السّند الاخبار عن طريق متن كاالاسنادى فريق
Sanad ialah menerangkan tentang jalan yang menyampaikan kita kepada matan, sama dengan isnad menurut pendapat sebagian ulama.[2]
Menurut bahasa ittishal ( اتّصل ) barasal dari kata wa shala (وصل )yang memiliki arti sampai, berkelanjutan. Persambungan sanad (إتّصل السّند) artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمي) dari awal sanad sampai akhirannya.[3] Jadi seluruh ragkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
Dikalangan ulama hadits, ditinjau dari persambungan sanad dikenal istilah hadits musnad dan hadits muttashil atau maushul. Hadits musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya kepada Nabi.[4] Menurut Ibnu Al-Shalah dan Al-Nawawiy, yang diamaksud dengan hadits muttashil atau maushul ialah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi, hadits muttashil atau maushul ada yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mauquf (disandarkan kepada sahabat Nabi). Apabila dibandingkan dengan hadits musnad maka dapat dinyatakan bahwa hadits musnad pasti muttashil atau maushul dan tidak semua hadits muttashil atau maushul pasti musnad.[5]

B.     Karakteristik Persambungan Sanad
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
1.      Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
2.      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab Rijal al-Hadits.
3.      Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dengan sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa hadatsani, hadatsana, akhbarana, an, anna, atau kata-kata lainnya.
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
a.       Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabith)
b.      Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits (penerimaan dan penyampaian periwayatan).[6]
c.       Disamping muttashil juga harus marfu’.[7]
Guna memahami sighat tahammul wa ‘ada al-hadits, berikut ini 8 model yang dipakai ulama:[8]
a.       Al-sama’ min lafdh al-syaikh (al-sama’): penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung lafadz hadits dari guru hadits, baik dengan cara imla’ atau melalui mudzakarah, baik melalui catatan atau hafalan. Sighat yang digunakan adalah:
سمعت, حدثنا, أخبرنا, حدثنى, أخبرنى
b.      Al qiro’ah ‘ala al-syaikh (al-qira’ah, ardl) yaitu periwayat menghadapkan periwayat hadits kepada guru hadits dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacanya, dan dia mendengarkannya, baik berasal dari catatannya atau dari hafalannya. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
قرأت على فلان, قرأت على فلان و أنا أسمع فأقربه
c.       Al-ijazah yaitu guru hadits memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya baik secara lisan atau tertulis. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
حدثنا إجازه إذنا, أجزلى, أنبأنى إجزة
d.      Al-Munawalah yaitu dengan cara memperoleh baik diikuti ijazah (al-munawalat al-maqrunah bi al-ijazah) maupun tanpa ijazah (al-munawalat al-mujarradah ‘an al-ijazah), Sighat yang digunakan biasanya adalah:
ناولنى, ناولنا
e.       Al-mukatabah yaitu guru hadits menuliskan hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik dengan ijazah maupun tidak. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
كتب إلي فلان, أخبرنى به مكا تبة, أخبرنى به كتابه
f.          Al-i’lam yaitu guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitab hadits yang telah diterimanya dari periwayatnya. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
أخبرنا إعلا ما
g.      Al-washiyyah yaitu seorang periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkannya kepada orang lain. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
أوصى إلي
h.      Al-wijadah yaitu seseorang yang tidak melalui cara al-sama’ ataupun al-ijazah mendapati hadits yang ditulis oleh periwayatnya, baik semasa ataupun tidak, bertemu ataupun tidak, pernah meriwayatkan atau tidak dari periwayat tersebut. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
وجدت بخط فلان حدثنا فلان, وجدت في كتاب فلان بخطه حدثنا فلان
Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:
1.      Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syekh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung pada umumnya menggunakan lambang ungkapan:
سمعت= Aku mendengar
حدّثني/أحبرني/حدّثنا/أخبرنا= Memberitakan kepadaku/kami
رأيت فلانا=Aku melihat si Fulan
Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya, maka berarti sanadnya muttasil (bersambung)
2.      Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
قال فلان/عن فلان/فعل فلان = Si Fulan berkata/ dari si Fulan/si Fulan melakukan ...
روي = diriwayatkan oleh
حكي =dihikayatkan oleh
أنّ  =bahwasannya
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu dengan syekhnya atau tidak.[9] Adapun hadits yang diriwayatkan dengan sighat di atas tidak bisa dipastikan bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar bersabda tentang hal itu kecuali jika ada bukti/penjelasan lain.
Khusus untuk hadits dengan mu’anan (dengan lafal ‘an) dan mu’anan (dengan lafal anna) dapat dikelompokkan sebagai hadits muttashil jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Si mu’an’in bukan seorang mudallis (menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara periwayatan yang baik)
b.      Si mu’an’in harus berjumpa dengan guru yang mengajarnya.[10] Sedangkan Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa si mu’an’in dan gurunya harus semasa (mu’asharah) dan tidak mensyaratkan harus berjumpa.[11]
Khusus cara periwayatan dengan al-sama’, mayoritas ulama hadits telah menempatkanya pada peringkat tertinggi. Argumen yang mendasarinya adalah:
1)      Tradisi periwayatan hadits pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi, yang terbanyak berlangsung secara al-sama’. Dalam al-sama’, telah terjadi hubungan langsung antara penyampai dan penerima berita (hadits). Apabila hal ini terdapat dalam sanad, maka sanad tersebut dinyatakan bersambung.
2)      Nabi telah bersabda pada sahabatnya:”kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain, dan dari orang lain tersebut, hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain tadi.”
Dari sabda Nabi di atas, dapat dipahami bahwa cara periwayatan hadits yang secara tegas diakui keabsahannya adalah cara al-sama’.
3)      Penghimpunan hadits secara resmi dan massal baru terjadi pada abad 2 dan 3 H. Sebelum masa perhimpunan tersebut, periwayatan hadits pada umumnya berlangsung secara lisan. Kalau begitu, antara Nabi dengan penghimpun hadits terdapat mata rantai para periwayat. Bila mata rantai periwayat itu putus, maka berarti telah terjadi keterputusan sumber. Jika demikian, berarti hadits tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keorisinilannya.[12]

C.    Aplikasi Persambungan Sanad
Berikut ini adalah contoh hadits riwayat Muslim :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ  :أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ (اخرجه مسلم)[13]       


Pada contoh hadits ini, penelitian dimulai pada periwayat terakhir. Maka dapat diketahui sanad-sanadnya adalah sebagai berikut:
1.      Imam Muslim
Beliau meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Mutsana menggunakan model as-Sama’. (bersambung)
2.      Muhammad bin Mutsana
Beliau meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Ja’far menggunakan model as-Sama. (bersambung)
3.      Muhammad bin Ja’far
Beliau meriwayatkan hadits dari Syu’bah menggunakan model as-Sama’. (bersambung)
4.      Syu’bah
Beliau meriwayatkan hadits dari Qais bin Muslim  menggunakan sighat ‘an, maka diperlukan penelitian pada muttabi’nya untuk mengetahui persambungan sanadnya. Dalam hal ini terdapat dua muttabi’. Yaitu Sufyan dan Malik bin Migwal. Bila kedua muttabi’ atau salah satunya memenuhi syarat, maka sanad antara Syu’bah dan Qois bin Muslim bersambung. Untuk meneliti muttabi’, para periwayat yang diteliti haruslah seluruh periwayat mulai dari yang berstatus sebagai muttabi’ itu sendiri sampai al-mukhorij untuk sanad yang menjadi muttabi’ tersebut. Dalam kegiatan penelitian ini, muttabi’ yang diteliti adalah Malik bin Migwal. Setelah diteliti ternyata, sanad yang menjadi muttabi’ tersebut, yaitu mulai dari Malik bin Migwal sampai An-Nasa’i memenuhi syarat yakni bersambung sanadnya. Kalau begitu, sanad antara Syu’bah dan Qois bin Muslim memiliki pendukung yang kuat sehingga sanadnya bersambung
5.      Qois bin Muslim
Beliau meriwayatkan hadits dari Thariq bin Syihab menggunakan sighat ‘an, maka diperlukan penelitian untuk mengetahui persambungan sanadnya. Para kritikus hadits mengakui bahwa Qois bin Muslim adalah orang yang tsiqah. Bahkan ada kritikus yang menempatkan Qois bin Muslim dalam peringkat tertinggi dalam tingkatan At-Ta’dil. Karenanya pernyataan Qois bin Muslim yang menyataan bahwa dia menerima riwayat hadits dari Thariq bin Syihab dapat dipercaya walaupun dia menggunakan lambang ‘an dalam periwayatannya. Dengan demikian sanad antara Qois bin Muslim dan Thariq bin Syihab bersambung.
6.      Thariq bin Syihab
Beliau meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri menggunakan sighat qala yang oleh sebagian ulama, lambang itu disamakan kedudukannya dengan ‘an ataupun anna, maka diperlukan penelitian untuk mengetahui persambungan sanadnya. Thariq bin Syihab sempat melihat Nabi (semasa), tetapi Thariq bin Syihab tidak langsung meriwayatkan hadits dari Nabi melainkan dari Abu Sa’id Al-Khudri. Para kritikus menyatakannya sebagai tsiqah. Maka sanad antara Thariq bin Syihab dan Abu Sa’id Al-Khudri bersambung.
7.      Abu Sa’id Al-Khudri
Beliau adalah sahabat Nabi sehingga tidak perlu diteliti ketsiqahannya. Serta beliau meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW menggunakan model as-Sama’. (bersambung).[14]
Dari penjelasan dan bukti-bukti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim termasuk hadits muttashil dan Marfu’.

IV.            PENUTUP
1.      Simpulan
Persambungan sanad (إتّصل السّند) artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمي) dari awal sanad sampai akhirannya. Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b.      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c.       Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dengan sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa hadatsani, hadatsana, akhbarana, an, anna, atau kata-kata lainnya.
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
a.       Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabith)
b.      Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits (penerimaan dan penyampaian periwayatan).
c.       Disamping muttashil juga harus marfu’
Dalam suatu hadits ketika menggunakan sighat /سمعت حدّثني/أحبرني/حدّثنا/أخبرنا رأيت, maka berarti sanadnya muttasil (bersambung). Tetapi ketika menggunakan sighat قال /عن /أنّ, Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu dengan syekhnya atau tidak.
Dari penjelasan dan bukti-bukti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits amar ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim termasuk hadits muttashil dan Marfu’.

2.      Saran
Demikanlah penulisan dan penyampaian makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk perbaikan makalah selanjutnya dan kemaslahatan bersama. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
 ‘Atsqolani, Imam Al Hafidz Syihabuddin Abi Al Fadli Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al. 2004. Tahdibu at Tahdibi Fi Rijalil Hadits Jilid 6. Beirut: Darr al Kutub Al Ilmiah
. 2004. Tahdibu at Tahdibi Fi Rijalil Hadits Jilid 5. Beirut: Darr al Kutub Al Ilmiah
. 2004. Tahdibu at Tahdibi Fi Rijalil Hadits Jilid 3. Beirut: Darr al Kutub Al Ilmiah
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna. 2013. Metode Kritik Hadits. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Asy’ari, A. Hasan. 2006. Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual hingga Digital. Semarag: RaSAIL
Hajjaj, Al-Imam Muslim bin Al. 2008. Sahih Muslim. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang
. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Hamzah
Maliki, Muhammad Alwi Al. 2006. Ilmu Ushul Hadits (Al Manhalu al Lathifu fi Ushuli Al Haditsi Al Syafifi), terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. 2013. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Riski Putra
Soebahar, M. Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulisan Hadis Nabi (Telaah Pemikiran Tokoh-Tokoh Hadits Mengenai Periwayatan dan Penulisan Hdis-Hadis Nabi SAW). Semarang: Fakultan Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Syiddieqi, M. Hasbi Asy. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang








[1] M. Erfan Soebahar, Periwayatan dan Penulisan Hadis Nabi (Telaah Pemikiran Tokoh-Tokoh Hadits Mengenai Periwayatan dan Penulisan Hdis-Hadis Nabi SAW), (Semarang: Fakultan Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2012), hlm. 25
[2] M. Hasbi Asy Syidieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm.42-43
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Hamzah, 2009), hlm. 150
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,...hlm. 233-234                                               
[5] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 127
[6] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad.. ,.hlm. 128
[7] A. Hasan Asy’ari, Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual hingga Digital, (Semarag: RaSAIL, 2006), hlm. 26
[8] A. Hasan Asy’ari, Melacak Hadits Nabi SAW...,hlm. 27-28
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,...hlm. 150
[10] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), hlm. 95
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2013), hlm. 172
[12] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits,...hlm. 154-155
[13]Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 46-47
[14] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 105-108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar