PERSAMBUNGAN SANAD
(ITTISHAL SANAD)
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Naqd al-Hadits
Dosen Pengampu
: Prof.
Dr. H. M. Erfan Soebahar, M. Ag.
Disusun
Oleh:
(Kelompok
6, PAI – 6A)
Linatu
zahroh (113111012)
Ummu
Hanifah (113111022)
Ahmad
Taaib (113111034)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PERSAMBUNGAN SANAD
(ITTISHAL SANAD)
I.
PENDAHULUAN
Hadits
yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Hal itu karena para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadits Nabi saw dan
kemudian berminat menyampaikannya kepada orang lain.[1]
Hadis sebagai pernyataan, pengamalan, takrir dan hal-ihwal Nabi
Muhammad saw merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Untuk
menjadikan hadis Nabi sebagai alat bantu untuk menjelaskan makna Al-Quran, maka
sangat penting diadakan penelitian, yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
apakah sesuatu yang disebut hadits Nabi itu benar-benar shahih atau
tidak.
Hadis-hadis
Nabi dapat dipertanggungjawabkan apabila telah diteliti pada dua hal, yaitu; sanad
dan matan. Oleh sebab itu, meneliti sanad dan matan
hadits diperlukan kaedah-kaedah dasar yang dapat dijadikan acuan umum meneliti
dan menentukan kualitas suatu hadits, maka kaedah yang dimaksud perlu ditelaah
secara kritis.
Maka
dalam makalah ini akan dibahas mengenai salah satu kaedah kesahihan sanad hadits,
yakni persambungan sanad (ittishal sanad) yang meliputi pengertian,
karakteristik, dan juga aplikasinya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertian persambungan sanad (Ittishal Sanad)?
B. Apa
saja karakteristik persambungan sanad?
C. Bagaimana
aplikasi persambungan sanad?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Persambungan Sanad (Ittishal Sanad)
Sanad
menurut bahasa adalah sesuatu yang kita sandarkan kepadanya, baik tembok
ataupun selainnya. Menurut istilah, Imam As Sayuti mengatakan dalam Alfiyahnya:
السّند
الاخبار عن طريق متن كاالاسنادى فريق
Sanad
ialah menerangkan tentang jalan yang menyampaikan kita kepada matan, sama
dengan isnad menurut pendapat sebagian ulama.[2]
Menurut bahasa ittishal
( اتّصل ) barasal dari kata wa shala (وصل
)yang memiliki arti sampai, berkelanjutan. Persambungan sanad (إتّصل السّند) artinya setiap perawi dalam sanad bertemu
dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمي) dari awal sanad sampai akhirannya.[3]
Jadi seluruh ragkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang
disandari oleh mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya
tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang
bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
Dikalangan ulama
hadits, ditinjau dari persambungan sanad dikenal istilah hadits musnad
dan hadits muttashil atau maushul. Hadits musnad adalah
hadits yang bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya
kepada Nabi.[4]
Menurut Ibnu Al-Shalah dan Al-Nawawiy, yang diamaksud dengan hadits muttashil
atau maushul ialah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan
itu sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi,
hadits muttashil atau maushul ada yang marfu’ (disandarkan
kepada Nabi) dan ada yang mauquf (disandarkan kepada sahabat Nabi).
Apabila dibandingkan dengan hadits musnad maka dapat dinyatakan bahwa
hadits musnad pasti muttashil atau maushul dan tidak semua
hadits muttashil atau maushul pasti musnad.[5]
B. Karakteristik Persambungan Sanad
Untuk mengetahui
bersambung atau tidaknya sanad biasanya ulama hadits menempuh tata kerja
penelitian sebagai berikut:
1.
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang diteliti
2.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab Rijal al-Hadits.
3.
Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang
terdekat dengan sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa hadatsani,
hadatsana, akhbarana, an, anna, atau kata-kata
lainnya.
Jadi, suatu sanad hadits
barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
a.
Seluruh
periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabith)
b.
Antara
masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits (penerimaan dan penyampaian
periwayatan).[6]
c. Disamping
muttashil juga harus marfu’.[7]
Guna memahami sighat
tahammul wa ‘ada al-hadits, berikut ini 8 model yang dipakai ulama:[8]
a. Al-sama’ min lafdh al-syaikh
(al-sama’): penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung lafadz
hadits dari guru hadits, baik dengan cara imla’ atau melalui mudzakarah,
baik melalui catatan atau hafalan. Sighat yang digunakan adalah:
سمعت,
حدثنا, أخبرنا, حدثنى, أخبرنى
b. Al qiro’ah ‘ala al-syaikh
(al-qira’ah, ardl) yaitu periwayat menghadapkan periwayat hadits kepada
guru hadits dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain
yang membacanya, dan dia mendengarkannya, baik berasal dari catatannya atau
dari hafalannya. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
قرأت
على فلان, قرأت على فلان و أنا أسمع فأقربه
c. Al-ijazah yaitu guru hadits
memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya
baik secara lisan atau tertulis. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
حدثنا
إجازه إذنا, أجزلى, أنبأنى إجزة
d. Al-Munawalah yaitu dengan cara
memperoleh baik diikuti ijazah (al-munawalat al-maqrunah bi al-ijazah)
maupun tanpa ijazah (al-munawalat al-mujarradah ‘an al-ijazah), Sighat
yang digunakan biasanya adalah:
ناولنى,
ناولنا
e. Al-mukatabah yaitu guru hadits menuliskan
hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik dengan
ijazah maupun tidak. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
كتب
إلي فلان, أخبرنى به مكا تبة, أخبرنى به كتابه
f.
Al-i’lam yaitu guru hadits
memberitahukan kepada muridnya, hadits atau kitab hadits yang telah diterimanya
dari periwayatnya. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
أخبرنا
إعلا ما
g. Al-washiyyah yaitu seorang
periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkannya kepada orang
lain. Sighat yang digunakan biasanya adalah:
أوصى
إلي
h. Al-wijadah yaitu seseorang yang
tidak melalui cara al-sama’ ataupun al-ijazah mendapati hadits
yang ditulis oleh periwayatnya, baik semasa ataupun tidak, bertemu ataupun
tidak, pernah meriwayatkan atau tidak dari periwayat tersebut. Sighat
yang digunakan biasanya adalah:
وجدت
بخط فلان حدثنا فلان, وجدت في كتاب فلان بخطه حدثنا فلان
Pertemuan atau
persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang digunakan oleh
para periwayat:
1. Pertemuan
langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syekh
yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau
melihat apa yang dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung pada
umumnya menggunakan lambang ungkapan:
سمعت=
Aku mendengar
حدّثني/أحبرني/حدّثنا/أخبرنا= Memberitakan kepadaku/kami
رأيت
فلانا=Aku melihat si Fulan
Jika dalam periwayatan sanad hadits
menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya, maka berarti sanadnya muttasil
(bersambung)
2. Pertemuan
secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang
hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin
melihat. Misalnya:
قال
فلان/عن فلان/فعل فلان = Si Fulan berkata/ dari si Fulan/si
Fulan melakukan ...
روي = diriwayatkan oleh
حكي
=dihikayatkan oleh
أنّ =bahwasannya
Persambungan sanad dalam ungkapan
kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat
diketahui benar apakah ia bertemu dengan syekhnya atau tidak.[9]
Adapun hadits yang diriwayatkan dengan sighat di atas tidak bisa dipastikan
bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar bersabda tentang hal itu kecuali jika ada bukti/penjelasan
lain.
Khusus untuk
hadits dengan mu’an ‘an (dengan lafal ‘an) dan mu’anan
(dengan lafal anna) dapat dikelompokkan sebagai hadits muttashil
jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Si
mu’an’in bukan seorang mudallis (menyembunyikan cacat dalam isnad
dan menampakkan cara periwayatan yang baik)
b. Si
mu’an’in harus berjumpa dengan guru yang mengajarnya.[10]
Sedangkan Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa si mu’an’in dan gurunya harus
semasa (mu’asharah) dan tidak mensyaratkan harus berjumpa.[11]
Khusus cara periwayatan
dengan al-sama’, mayoritas ulama hadits telah menempatkanya pada
peringkat tertinggi. Argumen yang mendasarinya adalah:
1) Tradisi
periwayatan hadits pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi, yang terbanyak
berlangsung secara al-sama’. Dalam al-sama’, telah terjadi
hubungan langsung antara penyampai dan penerima berita (hadits). Apabila hal
ini terdapat dalam sanad, maka sanad tersebut dinyatakan bersambung.
2) Nabi
telah bersabda pada sahabatnya:”kalian mendengar (hadits dari saya),
kemudian dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain, dan dari orang lain
tersebut, hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain tadi.”
Dari
sabda Nabi di atas, dapat dipahami bahwa cara periwayatan hadits yang secara
tegas diakui keabsahannya adalah cara al-sama’.
3) Penghimpunan
hadits secara resmi dan massal baru terjadi pada abad 2 dan 3 H. Sebelum masa
perhimpunan tersebut, periwayatan hadits pada umumnya berlangsung secara lisan.
Kalau begitu, antara Nabi dengan penghimpun hadits terdapat mata rantai para
periwayat. Bila mata rantai periwayat itu putus, maka berarti telah terjadi
keterputusan sumber. Jika demikian, berarti hadits tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan keorisinilannya.[12]
C. Aplikasi Persambungan Sanad
Berikut
ini adalah contoh hadits riwayat Muslim :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ :أَوَّلُ مَنْ
بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ
إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: الصَّلَاةُ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَا
هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ
قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
(اخرجه مسلم)[13]
Pada contoh
hadits ini, penelitian dimulai pada periwayat terakhir. Maka dapat diketahui sanad-sanadnya
adalah sebagai berikut:
1. Imam Muslim
Beliau meriwayatkan hadits dari
Muhammad bin Mutsana menggunakan model as-Sama’. (bersambung)
2. Muhammad bin Mutsana
Beliau meriwayatkan hadits dari
Muhammad bin Ja’far menggunakan model as-Sama. (bersambung)
3. Muhammad bin Ja’far
Beliau meriwayatkan hadits dari
Syu’bah menggunakan model as-Sama’. (bersambung)
4. Syu’bah
Beliau meriwayatkan hadits dari
Qais bin Muslim menggunakan sighat ‘an,
maka diperlukan penelitian pada muttabi’nya untuk mengetahui
persambungan sanadnya. Dalam hal ini terdapat dua muttabi’. Yaitu Sufyan
dan Malik bin Migwal. Bila kedua muttabi’ atau salah satunya memenuhi
syarat, maka sanad antara Syu’bah dan Qois bin Muslim bersambung. Untuk
meneliti muttabi’, para periwayat yang diteliti haruslah seluruh
periwayat mulai dari yang berstatus sebagai muttabi’ itu sendiri sampai al-mukhorij
untuk sanad yang menjadi muttabi’ tersebut. Dalam kegiatan penelitian
ini, muttabi’ yang diteliti adalah Malik bin Migwal. Setelah diteliti
ternyata, sanad yang menjadi muttabi’ tersebut, yaitu mulai dari
Malik bin Migwal sampai An-Nasa’i memenuhi syarat yakni bersambung sanadnya. Kalau begitu, sanad antara
Syu’bah dan Qois bin Muslim memiliki pendukung yang kuat sehingga sanadnya
bersambung
5. Qois bin Muslim
Beliau meriwayatkan hadits dari Thariq
bin Syihab menggunakan sighat ‘an, maka diperlukan penelitian untuk
mengetahui persambungan sanadnya. Para kritikus hadits mengakui bahwa Qois bin
Muslim adalah orang yang tsiqah. Bahkan ada kritikus yang menempatkan
Qois bin Muslim dalam peringkat tertinggi dalam tingkatan At-Ta’dil.
Karenanya pernyataan Qois bin Muslim yang menyataan bahwa dia menerima riwayat
hadits dari Thariq bin Syihab dapat dipercaya walaupun dia menggunakan lambang ‘an
dalam periwayatannya. Dengan demikian sanad antara Qois bin Muslim dan
Thariq bin Syihab bersambung.
6. Thariq bin Syihab
Beliau meriwayatkan hadits dari Abu
Sa’id Al-Khudri menggunakan sighat qala yang oleh sebagian ulama,
lambang itu disamakan kedudukannya dengan ‘an ataupun anna, maka
diperlukan penelitian untuk mengetahui persambungan sanadnya. Thariq bin
Syihab sempat melihat Nabi (semasa), tetapi Thariq bin Syihab tidak langsung
meriwayatkan hadits dari Nabi melainkan dari Abu Sa’id Al-Khudri. Para kritikus
menyatakannya sebagai tsiqah. Maka sanad antara Thariq bin Syihab dan
Abu Sa’id Al-Khudri bersambung.
7. Abu Sa’id Al-Khudri
Beliau adalah sahabat Nabi sehingga
tidak perlu diteliti ketsiqahannya. Serta beliau meriwayatkan hadits
dari Nabi Muhammad SAW menggunakan model as-Sama’. (bersambung).[14]
Dari penjelasan
dan bukti-bukti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits amar ma’ruf
nahi munkar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim termasuk hadits muttashil
dan Marfu’.
IV.
PENUTUP
1.
Simpulan
Persambungan sanad
(إتّصل السّند) artinya setiap
perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi
sebelumnya baik secara langsung (مباشرة)
atau secara hukum (حكمي) dari awal sanad
sampai akhirannya. Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad
biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat
c.
Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang
terdekat dengan sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa hadatsani,
hadatsana, akhbarana, an, anna, atau kata-kata
lainnya.
Jadi, suatu sanad
hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
a.
Seluruh
periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah (adil dan dhabith)
b.
Antara
masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits (penerimaan dan penyampaian
periwayatan).
c.
Disamping muttashil
juga harus marfu’
Dalam suatu
hadits ketika menggunakan sighat /سمعت حدّثني/أحبرني/حدّثنا/أخبرنا
رأيت, maka berarti sanadnya muttasil (bersambung). Tetapi
ketika menggunakan sighat قال /عن
/أنّ, Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara
hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui benar apakah
ia bertemu dengan syekhnya atau tidak.
Dari
penjelasan dan bukti-bukti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits amar
ma’ruf nahi munkar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim termasuk hadits muttashil
dan Marfu’.
2.
Saran
Demikanlah
penulisan dan penyampaian makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk perbaikan makalah selanjutnya dan
kemaslahatan bersama. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Atsqolani, Imam Al Hafidz Syihabuddin Abi Al
Fadli Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al. 2004. Tahdibu at Tahdibi Fi
Rijalil Hadits Jilid 6. Beirut: Darr al Kutub Al Ilmiah
.
2004. Tahdibu at Tahdibi Fi Rijalil Hadits Jilid 5. Beirut: Darr al
Kutub Al Ilmiah
.
2004. Tahdibu at Tahdibi Fi Rijalil Hadits Jilid 3. Beirut: Darr al
Kutub Al Ilmiah
Abdurrahman,
M. dan Elan Sumarna. 2013. Metode Kritik Hadits. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
Asy’ari,
A. Hasan. 2006. Melacak Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari
Manual hingga Digital. Semarag: RaSAIL
Hajjaj, Al-Imam Muslim bin Al. 2008. Sahih Muslim. Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Ismail,
M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang
.
1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang
Khon,
Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Hamzah
Maliki,
Muhammad Alwi Al. 2006. Ilmu Ushul Hadits (Al Manhalu al Lathifu fi Ushuli
Al Haditsi Al Syafifi), terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi Ash. 2013. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:
PT Pustaka Riski Putra
Soebahar,
M. Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulisan Hadis Nabi (Telaah Pemikiran
Tokoh-Tokoh Hadits Mengenai Periwayatan dan Penulisan Hdis-Hadis Nabi SAW). Semarang:
Fakultan Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Syiddieqi,
M. Hasbi Asy. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1. Jakarta: Bulan
Bintang
[1] M. Erfan Soebahar, Periwayatan
dan Penulisan Hadis Nabi (Telaah Pemikiran Tokoh-Tokoh Hadits Mengenai
Periwayatan dan Penulisan Hdis-Hadis Nabi SAW), (Semarang: Fakultan
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2012), hlm. 25
[2] M. Hasbi Asy Syidieqi, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm.42-43
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits, (Jakarta: Hamzah, 2009), hlm. 150
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits,...hlm. 233-234
[5] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 127
[6] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad.. ,.hlm. 128
[7] A. Hasan Asy’ari, Melacak
Hadits Nabi SAW: Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual hingga Digital, (Semarag:
RaSAIL, 2006), hlm. 26
[8] A. Hasan Asy’ari, Melacak
Hadits Nabi SAW...,hlm. 27-28
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadits,...hlm. 150
[10] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna,
Metode Kritik Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013), hlm. 95
[11] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT Pustaka
Riski Putra, 2013), hlm. 172
[12] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadits,...hlm. 154-155
[13]Al-Imam
Muslim bin Al-Hajjaj, Sahih Muslim, (Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 46-47
[14] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 105-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar