Sabtu, 29 Oktober 2016

Fiqih Mawaris (Munasakhat)

MUNASAKHAT 
A.  Pengertian Munaskhat
Secara harfiyah, Munasakhat berasal dari Bahasa Arab berarti “memindahkan” dan “menghilangkan”. misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitab yang bermakna “saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain”; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti “sinar matahari menghilangkan bayang-bayang”.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:

"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan". (QS. Al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:
   
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah: 106)
Sedangkan pengertian munasakhat menurut istilah adalah meninggalnya ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorag ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan Al-jami'ah.[1] Munasakhat beberapa unsur, antara lain:
a.       Harta pusaka simati belum dibagikan kepada para ahli waris, menurut ketentuan pembagian harta pusaka
b.      Adanya kematian dari salah seorang ahli waris
c.       Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang mati pertama
d.      Pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai (mewarisi).[2]
Munasakhat mempunyai tiga macam keadaan, antara lain:
a)      Ahli waris dari pewaris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan ahli waris dari pewaris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
b)      Para ahli waris dari pewaris kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
c)      Para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama, atau sebagian ahli warisnya termasuk orang yamg berhak untuk menerima dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan. [3]
B.  Rincian Amaliah Munasakhat
Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus melakukan langkah-langkah berikut:
1.      Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
2.      Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
3.      Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
4.      Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu mumatsalah, muwafaqah, dan mubayanah. Bila antara keduanya, yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama.[4]

 Contoh 1 (mumatsalah)
Seseorang wafat meninggalkan pusaka sebanyak Rp. 150.000.000,- yang ahli warisnya tiga anak perempuan, dua saudari kandung, dan seorang saudara kandung. Kemudian salah seorang saudari kandung itu meninggal. Jadi ia (salah seorang saudari kandung) meninggalkan seorang saudari kandung dan seorang saudara kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
Jumlah ahli waris: 3 x 4 = 12
3
36
Tashih masalah
3
Jami’ah
36
Harta pusaka
Rp. 150.000.000,-
3 anak pr.
2/3
2
24


24 bagian
Rp. 100.000.000,-
Saudarapr. sekandung
Ashabah bil ghair
1
3
Meninggal
-
-

Saudara pr. sekandung
3
Saudara pr. sekandung
1
3+1=
4 bagian
Rp.  17.000.000,-
Saudara lk. sekandung
6
Saudara lk. sekandung
2
6+2=
8 bagian
Rp.  33.000.000,-
Tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub.
Contoh 2 (Muwafaqah)
Seseorang  wafat meninggalkan pusaka sebanyak Rp. 40.000.000,- yang ahli warisnya suami, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki, keseluruhannya dari suami yang sebelumnya. Lalu si suami juga wafat dengan meninggalkan istri (istri kedua), ibu, dua orang saudara perempuan seayah dan seorang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut:





x 5

Jami’ah

Asal Masalah I
12
12
Asal Masalah II
12
(‘Aul)
15
60
Harta pusaka
Rp. 72.000.000,-
Suami
¼
3
Meninggal
-
-
-
Anak pr.
½
6


30
Rp. 36.000.000,-
Cucu pr.
Ash
1


5
Rp.   6.000.000,-
Cucu lk.
2


10
Rp. 12.000.000,-



Istri
¼
3
3
Rp.   3.600.000,-



Ibu
1/6
2
2
Rp.   2.400.000,-



2 sdr pr. Seayah
2/3
8
8
Rp.   9.600.000,-



Sdr lk. seibu
1/6
2
2
Rp.   2.400.000,-
Antara dua masalah ada persesuaian, dalam sepertiga dari 15 = 5 ini dinamakan persesuaian masalah (Muwafaqah)
Contoh 3 (Mubayanah)
Seseorang wafat dan meninggalkan pusaka sebanyak Rp. 24.000.000,- yang ahli warisnya suami, ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:

x 13

x 3


Asal masalah I
12
(‘Aul)
15
Asal masalah II
12
(‘Aul)
13
Jami’ah
15 x 13 = 195
Harta pusaka
Rp. 24.000.000,-
Suami
¼
3
Meninggal
-
-

Kakek
1/6
2


26
Rp.  3.200.000,-
Ibu
1/6
2


26
Rp.  3.200.000,-
2 anak pr.
2/3
8


104
Rp.12.800.000,-



Saudara pr. kandung
½
6
18
Rp.  2.200.000,-



Ibu
1/6
2
6
Rp.    750.000,-



Istri
¼
3
9
Rp.  1.100.000,-



Saudara lk. seibu
1/6
2
6
Rp.    750.000,-

Antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.

C.  At-Takharuj min at-Tarikah

Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang lain, atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hak warisnya".
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang mempunyai empat orang istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadar seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.
Tata Cara Pelaksanaannya
Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.
Cara pertama:
kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pokok masalahnya.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42 juta. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42 juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak istri, (1/8 x 24 = 3 bagian). Lalu sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan. Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut:
Ø  anak pr ½ x 24 = 12 bagian
Ø  ayah ashabah = 9 bagian
Nilai per bagian adalah 42.000.000 = 2.000.000
                                              21 
Bagian anak perempuan adalah           12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah                                           9 x 2.000.000 = 18.000.000 +
                                                                                         42.000.000
Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:
Asal masalah: 40
Ahli waris
Bagian

Isteri
1/8 x 40
5 bagian
5 bagian

Anak laki laki
ashabah
14
14 bagian

Anak laki laki
14
21 bagian

Anak perempuan
7
-




[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm. 319-320
[2] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 460-461.
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, hlm. 320-321
[4] Muchamad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Islam Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, T.th), hlm. 138-139

1 komentar:

  1. Bingung 😕... Tapi harus belajar ilmu seperti ini... 😔🤲 Terimakasih... Sangat membantu contoh singkat ini ... 👍🙏✨

    BalasHapus